Tepat
jam dua belas lewat satu menit, handphone gue bunyi. Bunyi alarm yang
mengingatkan gue kalau sekarang sudah tanggal 24 Oktober. Hari ulang tahun
Kiara. Masih setengah sadar gue bangun tanpa nyalain lampu kamar. Gue bersandar
ke dinding kamar. Space bar di handphone gue masih berkedip-kedip.
Baru
kali ini gue bingung mau nulis apa di sms. Gue nggak bisa bayangin kalau dia
ada di depan gue sekarang. Saking bingungnya, akhirnya gue putuskan buat
ngucapin selamat ulang tahun seadanya. Benar-benar apa adanya, ‘Happy Birthday’
- send. Gue nggak tahu mau nulis apa lagi, gue yang biasanya jago ngegombal dan
merangkai kata-kata, kali ini
benar-benar nggak bisa berkata-kata.
Meskipun
cahaya kamar gue cuma diterangi sama glow in
the dark, gue bisa lihat kotak coklat yang kemarin lusa gue beli di meja belajar
gue. Besok gue bakal kasih coklat itu ke Kiara. “Happy birthday, Kiara, I love
you.” Bisik gue ke handphone gue.
Pagi
ini gue sengaja berangkat ke sekolah lima menit lebih pagi dari biasanya. Nggak
ada yang beda, suasana sekolah pagi ini sama aja kaya biasanya. Kelas masih
sepi, cuma ada beberapa orang yang lagi sibuk ngerjain PR. Kiara juga belum
datang. Masih menggendong tas ransel, gue bersandar di bangku tempat gue duduk.
Nggak
lama setelah itu, gue nggak sengaja lihat Ramzi mengintip kelas gue dari
jendela. Seperti lagi mencari orang. Pandangan matanya tertuju pada bangku
kosong di depan gue. Bangkunya Kiara. Setelah itu dia pergi. Penasaran, gue
keluar kelas melihat arah dia pergi. Dia nggak sadar gue mengawasi
gerak-geriknya dari jauh.
“Riz,
lo nggak masuk kelas?” Pertanyaan Gifary
memecah konsentrasi gue.
“Eh,
Gi! Nanti-nanti.”
“Lo
udah ngerjain PR matematika?” Tanya Gifary lagi.
“Udah,
dong!”
“Wah!
Curang lo! Lihat dong!” Gifary memukul pundak gue.
“Woo!
Nih, nih.” Gue langsung mencari buku matematika dan memberikannya pada Gifary.
“Thanks,
bro!” Akhirnya dia pergi juga.
Akibat
sapaan Gifary tadi gue jadi nggak lihat ke mana Ramzi pergi. Ke mana tuh anak?
Gue jalan pelan-pelan sampai akhirnya gue mundur tiga langkah dan berdiri
dibaelakang pot bunga. Dia lagi ngobrol sama Kiara dan ngasih kotak kecil.
Apa-apaan tuh anak? Minta digampar.
Lima
menit kemudian Ramzi pergi ke kelasnya. Untungnya dia nggak lihat gue. Kiara masih berdiri di tempat tadi,
melihat kotak kecil pemberian Ramzi. Gue menghampiri dia, kayaknya dia kaget
melihat gue udah ada di depannya. Sebenarnya gue lebih kaget waktu lihat Ramzi
ngasih kotak itu ke dia.
“Ciee,
yang ulang tahun, udah dapet kado aja. Dari siapa, tuh?”
“Hm?
Ini, ya. Aku nggak tahu siapa namanya.. kayanya sih dia anak kelas….”
“Ramzi,”
Kiara diam. “Namanya Ramzi. Anak kelas X-3.” Gue langsung berbalik dan jalan ke
kelas. Jadi dia nggak kenal si Ramzi. Baguslah.
Di
kelas, anak-anak udah rame dan tambah rame setelah Kiara masuk ke kelas. Mereka
bernyanyi “Happy birthday” buat Kiara. Gue yang sebenarnya masih gondok sama
Ramzi terpaksa ikutan tepuk tangan. Dari tatapannya, gue bisa lihat Kiara
senang banget. Gue juga senang lihat dia tersenyum seperti itu, cantik. Gue
cuma nggak seneng dia masih megang kotak kecil itu.
“Waah,
kado dari siapa? Dari Fariz, ya?” Pertanyaan Talita membuat penghuni kelas
melihat ke arah gue. Termasuk Kiara. Pertanyaan itu bikin gue tambah gedek aja
sama si Ramzi.
“Bukan!”
Kata itu otomatis keluar dari mulut gue yang lagi-lagi mendapat perhatian anak-anak satu kelas.
“Buka,
dong, buka!” Ini suara si Talita bisa dikecilin sedikit, nggak, sih?
“Iya,
buka, dong!” Gue ikut-ikutan.
“Nggak usah di buka, Ra! Buang aja
ke tong sampah!” Dalam hati gue.
Gue
pura-pura baca buku sampai Talita heboh, “Waaaah gelang mahkota. Bagus banget!
Buat gue, ya! Haha.”
Jadi
itu isinya. Gila, bagus banget. Gelang kaya begitu pasti mahal. Kiara pasti
suka banget sama gelang sialan itu. Ck!
Sampai
jam pelajaran terakhir gue masih kebayang-bayang gelang mahkota itu. Pelajaran
terakhir hari ini adalah pelajaran sejarah. Kenapa harus pelajaran sejarah yang
menjadi penutup hari ini. Ibu Lia menyuruh kami membaca materi sejarah tentang
zaman peralihan secara bergantian. Ini membosankan. Untungnya gelang itu nggak
dipake sama Kiara. Gue nggak tahu apa jadinya kalau dia pake gelang itu.
“Fariz,”
Kata Ibu Lia.
“Hah?”
“Lanjutkan
bacaan teman kamu tadi.” Mati gue! Apa yang tadi dibaca terakhir aja gue nggak
tau, gimana gue bisa lanjutin?
“Tadi
emang siapa yang baca?” Gue nanya ke Dezan.
“Ayo,
Fariz,” Kata Ibu Lia lagi.
Dezan menunjuk paragraf yang harus gue baca. Gue
langsung membaca paragraf itu sampai Ibu Lia menyebut nama anak yang lain. Fyuh… Jujur, gue nggak tahu dan nggak
ngerti sama apa yang barusan gue baca.
“Lo
kenapa, Riz? Sakit?” Tanya Dezan.
“Ngantuk
gue!” Dezan tertawa.
Akhirnya
bel yang selalu dirindukan oleh semua anak sekolah berbunyi. Ya, bel pulang
sekolah. Setelah berdoa, semua anak sibuk merapikan barang-barangnya, bahkan
ada yang sudah merapikan barangnya setengah jam sebelum bel berbunyi sehingga
saat bel berbunyi, mereka tinggal pasang ancang-ancang keluar kelas, seperti
Dezan yang langsung berlari keluar kelas waktu gue masih masukin buku-buku ke
dalam tas.
Gue
nggak sengaja megang coklat yang terselip diantara buku-buku pelajaran. Kiara
masih sibuk sama buku-bukunya. Satu tangan gue masih menggenggam coklat yang
ada di dalam tas. Sekarang Kiara melihat gue. Gue melepas coklat itu
membiarkannya bersatu sama buku-buku pelajaran lain dan cepat-cepat menutup tas
gue.
“Aku
pulang duluan, ya. Kamu hati-hati.” Kata-kata yang kebiasaan gue ucapkan ke
Kiara sebelum gue pulang. Kiara mengangguk. Gue langsung lari keluar kelas.
Coklat gue ini nggak ada gunanya. Kalaupun gue kasih, paling udah meleleh.
Kalau dibandingkan sama hadiah dari Ramzi, hadiah gue nggak ada apa-apanya, gue
udah kalah telak.
Hari
ini cewe gue ulang tahun dan gue, pacarnya, nggak ngasih apa-apa dihari ulang
tahun dia. Bego! Bego! Sambil turun tangga, gue memukul dinding yang ada di
samping kanan. Anak-anak yang melihat kelakuan gue kaget dan berbisik-bisik
dengan yang lain. Tapi gue nggak peduli.
No comments:
Post a Comment