Wednesday 24 April 2013

That Moment [Part 20]



Tepat jam dua belas lewat satu menit, handphone gue bunyi. Bunyi alarm yang mengingatkan gue kalau sekarang sudah tanggal 24 Oktober. Hari ulang tahun Kiara. Masih setengah sadar gue bangun tanpa nyalain lampu kamar. Gue bersandar ke dinding kamar. Space bar di handphone gue masih berkedip-kedip.
Baru kali ini gue bingung mau nulis apa di sms. Gue nggak bisa bayangin kalau dia ada di depan gue sekarang. Saking bingungnya, akhirnya gue putuskan buat ngucapin selamat ulang tahun seadanya. Benar-benar apa adanya, ‘Happy Birthday’ - send. Gue nggak tahu mau nulis apa lagi, gue yang biasanya jago ngegombal dan merangkai kata-kata,  kali ini benar-benar nggak bisa berkata-kata.
Meskipun cahaya kamar gue cuma diterangi sama glow in the dark, gue bisa lihat kotak coklat yang kemarin lusa gue beli di meja belajar gue. Besok gue bakal kasih coklat itu ke Kiara. “Happy birthday, Kiara, I love you.” Bisik gue ke handphone gue.
Pagi ini gue sengaja berangkat ke sekolah lima menit lebih pagi dari biasanya. Nggak ada yang beda, suasana sekolah pagi ini sama aja kaya biasanya. Kelas masih sepi, cuma ada beberapa orang yang lagi sibuk ngerjain PR. Kiara juga belum datang. Masih menggendong tas ransel, gue bersandar di bangku tempat gue duduk.
Nggak lama setelah itu, gue nggak sengaja lihat Ramzi mengintip kelas gue dari jendela. Seperti lagi mencari orang. Pandangan matanya tertuju pada bangku kosong di depan gue. Bangkunya Kiara. Setelah itu dia pergi. Penasaran, gue keluar kelas melihat arah dia pergi. Dia nggak sadar gue mengawasi gerak-geriknya dari jauh.
“Riz, lo nggak masuk kelas?” Pertanyaan Gifary  memecah konsentrasi gue.
“Eh, Gi! Nanti-nanti.”
“Lo udah ngerjain PR matematika?” Tanya Gifary lagi.
“Udah, dong!”
“Wah! Curang lo! Lihat dong!” Gifary memukul pundak gue.
“Woo! Nih, nih.” Gue langsung mencari buku matematika dan memberikannya pada Gifary.
“Thanks, bro!” Akhirnya dia pergi juga.
Akibat sapaan Gifary tadi gue jadi nggak lihat ke mana Ramzi pergi. Ke mana tuh anak? Gue jalan pelan-pelan sampai akhirnya gue mundur tiga langkah dan berdiri dibaelakang pot bunga. Dia lagi ngobrol sama Kiara dan ngasih kotak kecil. Apa-apaan tuh anak? Minta digampar.
Lima menit kemudian Ramzi pergi ke kelasnya. Untungnya dia nggak lihat  gue. Kiara masih berdiri di tempat tadi, melihat kotak kecil pemberian Ramzi. Gue menghampiri dia, kayaknya dia kaget melihat gue udah ada di depannya. Sebenarnya gue lebih kaget waktu lihat Ramzi ngasih kotak itu ke dia.
“Ciee, yang ulang tahun, udah dapet kado aja. Dari siapa, tuh?”
“Hm? Ini, ya. Aku nggak tahu siapa namanya.. kayanya sih dia anak kelas….”
“Ramzi,” Kiara diam. “Namanya Ramzi. Anak kelas X-3.” Gue langsung berbalik dan jalan ke kelas. Jadi dia nggak kenal si Ramzi. Baguslah. 
Di kelas, anak-anak udah rame dan tambah rame setelah Kiara masuk ke kelas. Mereka bernyanyi “Happy birthday” buat Kiara. Gue yang sebenarnya masih gondok sama Ramzi terpaksa ikutan tepuk tangan. Dari tatapannya, gue bisa lihat Kiara senang banget. Gue juga senang lihat dia tersenyum seperti itu, cantik. Gue cuma nggak seneng dia masih megang kotak kecil itu.
“Waah, kado dari siapa? Dari Fariz, ya?” Pertanyaan Talita membuat penghuni kelas melihat ke arah gue. Termasuk Kiara. Pertanyaan itu bikin gue tambah gedek aja sama si Ramzi.
“Bukan!” Kata itu otomatis keluar dari mulut gue yang lagi-lagi  mendapat perhatian anak-anak satu kelas.
“Buka, dong, buka!” Ini suara si Talita bisa dikecilin sedikit, nggak, sih?
“Iya, buka, dong!” Gue ikut-ikutan.
“Nggak usah di buka, Ra! Buang aja ke tong sampah!”  Dalam hati gue.
Gue pura-pura baca buku sampai Talita heboh, “Waaaah gelang mahkota. Bagus banget! Buat gue, ya! Haha.”
Jadi itu isinya. Gila, bagus banget. Gelang kaya begitu pasti mahal. Kiara pasti suka banget sama  gelang sialan itu. Ck!
Sampai jam pelajaran terakhir gue masih kebayang-bayang gelang mahkota itu. Pelajaran terakhir hari ini adalah pelajaran sejarah. Kenapa harus pelajaran sejarah yang menjadi penutup hari ini. Ibu Lia menyuruh kami membaca materi sejarah tentang zaman peralihan secara bergantian. Ini membosankan. Untungnya gelang itu nggak dipake sama Kiara. Gue nggak tahu apa jadinya kalau dia pake gelang itu.
“Fariz,” Kata Ibu Lia.
“Hah?”
“Lanjutkan bacaan teman kamu tadi.” Mati gue! Apa yang tadi dibaca terakhir aja gue nggak tau, gimana gue bisa lanjutin?
“Tadi emang siapa yang baca?” Gue nanya ke Dezan.
“Ayo, Fariz,” Kata Ibu Lia lagi.
Dezan  menunjuk paragraf yang harus gue baca. Gue langsung membaca paragraf itu sampai Ibu Lia menyebut nama anak yang lain. Fyuh… Jujur, gue nggak tahu dan nggak ngerti sama apa yang barusan gue baca.
“Lo kenapa, Riz? Sakit?” Tanya Dezan.
“Ngantuk gue!” Dezan tertawa.
Akhirnya bel yang selalu dirindukan oleh semua anak sekolah berbunyi. Ya, bel pulang sekolah. Setelah berdoa, semua anak sibuk merapikan barang-barangnya, bahkan ada yang sudah merapikan barangnya setengah jam sebelum bel berbunyi sehingga saat bel berbunyi, mereka tinggal pasang ancang-ancang keluar kelas, seperti Dezan yang langsung berlari keluar kelas waktu gue masih masukin buku-buku ke dalam tas.
Gue nggak sengaja megang coklat yang terselip diantara buku-buku pelajaran. Kiara masih sibuk sama buku-bukunya. Satu tangan gue masih menggenggam coklat yang ada di dalam tas. Sekarang Kiara melihat gue. Gue melepas coklat itu membiarkannya bersatu sama buku-buku pelajaran lain dan cepat-cepat menutup tas gue.
“Aku pulang duluan, ya. Kamu hati-hati.” Kata-kata yang kebiasaan gue ucapkan ke Kiara sebelum gue pulang. Kiara mengangguk. Gue langsung lari keluar kelas. Coklat gue ini nggak ada gunanya. Kalaupun gue kasih, paling udah meleleh. Kalau dibandingkan sama hadiah dari Ramzi, hadiah gue nggak ada apa-apanya, gue udah kalah telak.
Hari ini cewe gue ulang tahun dan gue, pacarnya, nggak ngasih apa-apa dihari ulang tahun dia. Bego! Bego! Sambil turun tangga, gue memukul dinding yang ada di samping kanan. Anak-anak yang melihat kelakuan gue kaget dan berbisik-bisik dengan yang lain. Tapi gue nggak peduli.

No comments:

Post a Comment

Dua Puluh Tahun

Tenang, kali ini kita tidak akan bertemu aku 20 tahun lalu. Haha. Dua puluh tahun adalah alasanku 'menolak' orang yang pertama kali ...