Sunday 17 November 2013

Tas Dorong


Aku kembali memejamkan mataku. Membiarkan otakku memutar ingatan. Kali ini, aku mendapati diriku sedang duduk di paling belakang, mengenakan seragam putih biru, seragam TK. Teman-teman yang belum aku kenal sebagian sudah mengenakan seragam putih hijau. Tapi aku tidak egitu peduli karena masih ada juga yang mengenakan seragam TK. Ada ibu guru yang sedang berbicara di depan. Entah apa yang sedang beliau katakan. Aku tidak bisa mendengarnya karena aku tidak ingat. Ada 44 anak di dalam kelas itu. Aku belum mengenal mereka semua karena ini adalah hari pertama aku masuk SD. Hanya itu yang aku ingat.
Pada saat istirahat, aku menghampiri ibu yang sedang duduk bersama ibu-ibu yang lain, menungu anak-anaknya.  Aku berlari menghampiri ibu. Dengan senang aku berbisik padanya, “Sasa sudah punya teman. Namanya Nurani.” Lalu ibu tersenyum. “Kenalan lagi sama yang lain.”
“Iya!” jawabku bersemangat. Setelah itu ibu menyuruhku salim pada ibu-ibu yang tidak lain dan tidak bukan adalah ibu dari teman-temanku. Aku juga berkenalan dengan anak-anak dari ibu-ibu itu. Tapi aku tidak ingat siapa.  –flash-
Sekarang aku mendapati diriku sedang tertidur pulas dengan bantal dan guling yang sudah tidak beraturan posisinya. Di samping ada adik dan ibu yang juga sedang tertidur. “Teng!” Suara batu dilempar mengenai pagar besi lantai dua rumahku. Ibu, aku, dan adik sepertinya tidak menyadari suara itu. Mereka tertidur pulas. Aku lucu juga, ya, kalau sedang tidur! Hehe.
‘Tak!’ kali ini suara batu dilempar mengenai pintu.
“Iyaa!” Kata ibu yang langsung beranjak dari tempat tidur. Turun ke bawah membuka pintu.
“Assalamualaikum.” Itu suara ayah. Nada ucapan salam yang khas milik ayah.
Kalau Ayah pulang, beliau memang selalu pulang larut malam. Saat kami semua sudah tertidur. Tanda ayah pulang adalah ada suara lemparan batu.
 Karena kami semua tidur di lantai dua. Kalau hanya mengetuk pintu depan, tidak akan terdengar. Dan hanya ibu yang terbangun mendengar suara itu. Aku dan adikku tidak menyadari kalau ayah sudah pulang.
“Anak-anak udah tidur?” Tanya ayah.
“Udah. Jam delapan juga udah pada tidur. Ayah bawa apa itu?”  Kantong besar yang baru disimpan ayah menjadi perhatian ibu. 
“Bangunin sasa, gih.”
Aku masih berada di alam mimpi yang indah sampai akhirnya aku dengar suara ibu memanggil namaku sambil menggoyangkan badanku. Mau tidak mau aku meninggalkan alam mimpiku dan terbangun. Ibu menaruh benda besar yang masih dibungkus plastik di atas kasur.
Sambil setengah sadar aku membuka plastiknya, dibantu ibu. Sebuah tas! Tas dorong berwarna biru. Ditengahnya ada lambang orang sedang berkuda. Gagangnya berwarna kuning dan sletingnya berwarna emas. Bagus! Ayah membelikan tas dorong ini untukku. “Besok mau pake!” Aku bersemangat.
“Ini buat ihsan.” Sebuah kotak yang berisi  robot-robotan berwarna biru. Robotnya bagus, tapi adikku masih tertidur. Kalau dibangunkan, dia akan menangis. Maklum, masih kecil. Mungkin dia akan
“Ya, tidur lagilah.” Ayah mengelus kepalaku.  
Keesokan harinya, aku memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tas baru. Tas yang bisa didorong dan bisa digendong. Tas dari ayah. Rasanya senang sekali punya tas baru.
Tas ini cukup besar kalau di simpan di bangku. Aku jadi tidak bisa bersandar karena tasku yang besar. Tapi tak apa. Aku senang! Banyak teman-teman yang melihat ke arah tasku tapi tidak berkomentar apa-apa.  Sebagian meledekku, entahlah. Mungkin tas dorong seperti ini masih aneh di kalangan anak-anak SD seusiaku.
Pada saat istirahat, aku bermain-main keluar. Main lari-larian, uwi nagok , dan permainan lain yang menyenangkan sampai bel berbunyi. Pada saat aku kembali ke kelas, aku mendapati tasku sudah tergeletak di lantai. Ada banyak bekas injakan sepatu di bagian depan. Tasku diinjak-injak oleh -entah siapa-. Aku kaget dan langsung membersihkan bekas sepatu dengan tanganku. Bagian depannya penyok karena tertekan, tapi bisa kembali seperti semula. Rasanya ingin menangis tapi aku tahan. Aku hanya diam seakan tidak terjadi apa-apa pada tasku. Berusaha tegar, walaupun sebenarnya sedih sekali. Teman-teman yang melihat kejadian itu pun diam. Membuatku semakin tidak tahu siapa teman yang tega melakukan ini pada tasku.  Teman? Apa orang yang sudah menginjak-injak tasku itu masih bisa disebut sebagai teman?
***
Aku membuka mata. Kejadian itu masih kuingat sampai sekarang. Meskipun samar-samar.  Pada hari pertama aku memakai tas dorong warna biru dari ayah, tas itu diinjak-injak entah oleh siapa pelakunya.  Akujadi trauma untuk memakai tas dorong lagi. Aku tidak memakainya setiap hari. Hanya hari tertentu saja. Tapi setelah itu aku ingat, teman-teman yang lain juga memakai tas dorong. Meskipun begiu, tidak ada yang mempunyai tas dorong berwarna biru seperti milikku. Kerena tas ini spesial ayah belikan untukku. Terima kasih, ayah.

No comments:

Post a Comment

Dua Puluh Tahun

Tenang, kali ini kita tidak akan bertemu aku 20 tahun lalu. Haha. Dua puluh tahun adalah alasanku 'menolak' orang yang pertama kali ...