Friday, 15 November 2013

Anting


Waktu aku masih SD, aku merasa berbeda dengan anak-anak perempuan lainnya, aku melihat teman-teman perempuan memakai benda kecil di kedua telinganya. Ya, anting.
Suatu hari, Aku bertanya pada ibuku, "Bu, kenapa aku tidak punya anting?"
"Karena kau tidak mempunyai lubang kecil di telinga."
Aku bercermin dan memegang telingaku. Iya, tidak berlubang. Lalu kenapa teman-teman yang lain memiliki lubang?
"Kebanyakan anak perempuan ditindik saat mereka masih bayi, tapi kamu tidak ditindik."
"Ditindik itu apa?" Tanyaku.
"Ditindik itu dilubangi telinganya supaya bisa pasang anting,"
"Jadi, punya lubang di telinga itu bukan tanda kalau dia itu anak perempuan asli ya, Ma?"
"Kamu ini bicara apa? Tentu saja. Lubang di telinga itu ada karena dilubangi. Bukan bawaan dari lahir." Ibu tertawa kecil sambil mengusap kepalaku.
Aku merasa lega karena ternyata aku sama dengan anak perempuan yang lain. Hanya saja aku tidak ditindik. hiii:D
Tapi, lama kelamaan aku merasa teman-temanku yang memakai anting terlihat lebih cantik.  Apalagi ada anting yang bentuknya mickey mouse, donal bebek, dan tokoh-tokoh kartun lucu lainnya. Aku.. juga ingin punya anting. Aku ingin pakai anting.


   ---FLASHBACK---
Satu persatu anak-anak mau ke depan sambil membawa kertas ke depan. Aku masih berkutat dengan gambarku sambil sesekali melihat teman-teman yang sudah keluar kelas.  
“Ayo, yang sudah selesai boleh istirahat.” Kata Bu Ika.
Tanganku semakin cepat mewarnai gambar laut. Krayon biruku sudah pendek. Ini karena aku terlalu sering menggambar laut dan gunung.
“Kenapa tidak di PR-kan saja, sih?” Gumamku.  
Bel istirahat memang belum berbunyi, tapi anak-anak diperbolehkan untuk istirahat lebih dulu kalau gambar mereka sudah selesai. Lumayan ,kan, jadi bisa istirahat lebih lama!
Aku melihat keluar jendela, ke arah ayunan. Dua ayunan itu sudah dinaiki oleh teman-teman. Banyak teman yang lain berdiri didekat tiang ayunan mengantri untuk bermain ayunan. Ayunan itu memang menjadi wahana permainan favorit anak-anak seusiaku.  
“Siapa lagi yang sudah selesai?” Suara Ibu Ika membuatku kembali fokus mewarnai.
“sedikit lagi. Sedikit lagi.” Aku berbicara pada diri sendiri.
Aku merapikan krayon dan menyerahkan gambarku. Tanpa basa-basi aku berlari ke luar kelas menyusul teman-teman yang lain.
Aku sudah berdiri ikut mengantri untuk bermain ayunan. Antriannya cukup panjang tapi aku yakin aku bisa bermain. Tunggu saja.
Akhirnya setelah sekitar 10 menit menunggu, tiba giliranku bermain. Dengan cepat aku duduk di ayunan dan mulai berayun. Semakin lama semakin tinggi. Aku senang sekali! Rasanya seperti terbang! Tapi.. kebahagiaanku tidak bertahan lama karena bel masuk berbunyi. Aku sudah tidak berayun lagi tapi masih duduk di ayunan. Sedih.
“Masuuuk! Masuuk!” Bobby, sang ketua kelas, berteriak.
“Ah, kamu sih, Sa. Mainnya kelamaan! Aku jadi nggak bisa main. Tuh udah bel lagi!” Rudi mengomel karena belum sempat bermain.
“Apaan aku juga baru kok mainnya!”
"Ih, sasa kamu kaya anak laki-laki! telinganya tidak pakai anting!" katanya sambil pergi ke kelas. Dia memang menyebalkan, apa saja dikomentari.  Aku diam. Disebut seperti anak laki-laki, rasanya aku ingin menangis. Aku tidak seperti anak laki-laki!
---Flashback berakhir---
“Bu, kenapa aku tidak pakai anting? Kenapa telingaku tidak dilubangi waktu aku kecil?” Tanyaku.
“Nggak boleh sama Ayah.” jawab ibu.
Nggak boleh? Kenapa ayah tidak mengizinkan aku pakai anting? Padahal kalau aku pakai anting kan aku bisa terlihat lebih cantik kaya teman-teman lain. Ayah jahat!
“Bu! Aku mau pakai anting!”
“Ya boleh saja. Nanti telinga kamu ditusuk pakai jarum. Kamu tahan sakitnya?”
“Itu sakit ya, bu?”
“Yaa.. sedikit. Tapi sekarang kan sudah ada yang tinggal ditembak.”
Aku membayangkan pistol ditembakkan ke telingaku. Lalu telingaku bolong dan aku bisa pakai anting. Tapi.. pakai pistol? Itu pasti sakit sekali!
“Ah, nanti saja, deh, Bu.”
Sejak saat itu, aku agak kesal pada ayah. kenapa telingaku tidak dilubangi waktu aku masih bayi seperti anak perempuan yang lain? Kan kalau waktu masih bayi, aku tidak akan merasakan sakit. Coba kalau sekarang, pasti rasanya sakit! Kenapa ayah tega banget sama aku? *lebay*
Untuk beberapa hari aku sudah lupa tentang masalah anting. Sampai suatu hari aku teringat lagi dan aku kesal lagi sama ayah.
“Ayah, kenapa aku nggak pakai anting waktu bayi?”
“Buat apa?” Tanya ayah.
“Huh!” Aku tidak menjawab pertanyaan ayah. aku kesal! Aku tidak mau dicium ayah. aku tidak mau memeluk ayah. ini semua karena anting.
“Sasa kok cemberu terus? Jadi jelek.” Kata ibu suatu hari.
“Kesal. Kenapa waktu aku bayi aku nggak dikasih anting! Kenapa nggak boleh sama ayah!”
“Soalnya waktu itu ayah nggak mau lihat kamu menangis. Kalau telingamu dilubangi, kamu pasti akan menangis. Saking sayangnya sama kamu, Ayah nggak mau lihat sasa kecil menangis kesakitan, meskipun itu hanya sebentar.”
Cerita ibu seketika langsung menghapus kekesalan nggak jelasku pada ayah. aku membayangkan masa bayiku yang aku sendiri tidak ingat. Ternyata ayah punya alasan lain yangtidak pernah terpikir olehku. Alasan yang membuatku ingin menangis. Bukan karena aku sedih, tapi karena aku terharu mendengar cerita ibu. Aku bahagia memiliki ayah yang sayang padaku dengan caranya sendiri.

-Sasa-

No comments:

Post a Comment

Dua Puluh Tahun

Tenang, kali ini kita tidak akan bertemu aku 20 tahun lalu. Haha. Dua puluh tahun adalah alasanku 'menolak' orang yang pertama kali ...