Thursday, 12 November 2015

Boleh Aku Membenci Ayah?



“Ibu, boleh aku membenci Ayah?” 
Air mata yang berusaha aku tahan akhirnya jatuh.
“Boleh aku membenci ayah?” Semakin pertanyaan itu kuulang, semakin banyak air mata yang mengalir.
“Apa aku boleh aku membenci seorang yang kau cintai, Bu?”
“Apa aku boleh membenci orang yang telah menyayangi dan melindungiku sejak aku lahir, Bu?”
“Apa boleh?”
Sakit sekali rasanya seperti ini. Pertanyaan bodoh itu terus terucap dalam hati. Dadaku sesak. Air mata ini sudah tidak bisa kubendung lagi. Aku menangis di samping ibu yang juga sedang menangis. Nafasku berat dan terasa sesak.
Sebagai seorang anak, aku merasa gagal karena telah menangis di depan ibu, meski tanpa suara.
“Mengapa ibu masih bersama ayah?” pertanyaan bodoh itu sempat melintas dipikiranku meski aku sendiri tidak pernah menginginkan hal itu terjadi. Aku tidak pernah ingin. 
“Apa ibu bahagia? Kalau ibu bahagia bersamanya lalu kenapa ibu menangis?”
“Apa ayah mencintai ibu? Kalau dia mencintaimu kenapa dia tidak membuatmu bahagia?”
Aku kecewa. Sebagai seorang anak apa boleh aku kecewa pada ayahnya sendiri?
Tidak ada hal yang bisa kulakukan selain menangis dalam diam. Berteriak dalam hati.

Hingga suatu hari ibu berkata, “Jangan seperti itu. Bagaimanapun kamu juga harus lihat sisi baik ayah yang tetap  bersama kita. Kamu lihat, kan? Banyak ayah orang lain yang malah pergi begitu saja bahkan memilih wanita lain dan meninggalkan keluarganya dan tidak bertanggung jawab? Tapi ayahmu tidak seperti itu. Itu adalah sisi baik ayah yang orang lain tidak lihat. Mereka hanya melihat kejelekan saja tanpa melihat sisi baik. Kamu tidak boleh seperti itu.”

Aku tahu.. sekecewa apapun aku padanya, rasa sayang ini tidak pernah pergi. Bahkan ketika rasa ‘benci’ mulai datang, hatiku terasa sakit.
Bagaimana bisa aku membenci ayah? Aku tidak akan bisa. Bagaimanapun dia ayahku. lelaki pertama yang menyayangi dan menjagaku dengan sepenuh hati.
Sesunggunya.. Aku hanya tidak ingin melihat ibu menangis karena ayah.  
Dan ketika aku mulai berpikir untuk membencinya, Ibu menyadarkan aku untuk menepis rasa benci dan kecewa dengan mengingat dan melihat kebaikannya.
Kebaikan-kebaikan yang hampir tertutup oleh rasa kecewa.  

“Sekarang kamu tinggal pilih: memelihara rasa kecewa yang menjadi benci ini dengan terus mengingat hal buruk, atau mengingat dan melihat kebaikan beliau, mencoba memaafkan dan mendoakannya?” Kata ibu, kedua tangannya dengan lembut mengusap air mataku. Seolah sekaligus mengusap rasa kecewa yang tidak akan aku pelihara. Bagaimanapun, aku sayang ayah. 
- - - - -


Happy father's day!

No comments:

Post a Comment

Dua Puluh Tahun

Tenang, kali ini kita tidak akan bertemu aku 20 tahun lalu. Haha. Dua puluh tahun adalah alasanku 'menolak' orang yang pertama kali ...