“Ibu, boleh aku
membenci Ayah?”
Air mata yang berusaha aku tahan akhirnya jatuh.
“Boleh aku
membenci ayah?” Semakin pertanyaan itu kuulang, semakin banyak air mata
yang mengalir.
“Apa aku boleh aku
membenci seorang yang kau cintai, Bu?”
“Apa aku boleh
membenci orang yang telah menyayangi dan melindungiku sejak aku lahir, Bu?”
“Apa boleh?”
Sakit sekali rasanya seperti ini. Pertanyaan bodoh
itu terus terucap dalam hati. Dadaku sesak. Air mata ini sudah tidak bisa
kubendung lagi. Aku menangis di samping ibu yang juga sedang menangis. Nafasku
berat dan terasa sesak.
Sebagai seorang anak, aku merasa gagal karena telah
menangis di depan ibu, meski tanpa suara.
“Mengapa ibu
masih bersama ayah?” pertanyaan bodoh itu sempat melintas dipikiranku meski aku
sendiri tidak pernah menginginkan hal itu terjadi. Aku tidak pernah ingin.
“Apa ibu
bahagia? Kalau ibu bahagia bersamanya lalu kenapa ibu menangis?”
“Apa ayah
mencintai ibu? Kalau dia mencintaimu kenapa dia tidak membuatmu bahagia?”
Aku kecewa. Sebagai seorang anak apa boleh aku kecewa
pada ayahnya sendiri?
Tidak ada hal yang bisa kulakukan selain menangis
dalam diam. Berteriak dalam hati.
Hingga suatu hari ibu berkata, “Jangan seperti itu. Bagaimanapun kamu juga harus lihat sisi baik ayah
yang tetap bersama kita. Kamu lihat,
kan? Banyak ayah orang lain yang malah pergi begitu saja bahkan memilih wanita
lain dan meninggalkan keluarganya dan tidak bertanggung jawab? Tapi ayahmu
tidak seperti itu. Itu adalah sisi baik ayah yang orang lain tidak lihat.
Mereka hanya melihat kejelekan saja tanpa melihat sisi baik. Kamu tidak boleh
seperti itu.”
Aku tahu.. sekecewa apapun aku padanya, rasa
sayang ini tidak pernah pergi. Bahkan ketika rasa ‘benci’ mulai datang, hatiku terasa
sakit.
Bagaimana bisa aku membenci ayah? Aku tidak akan bisa.
Bagaimanapun dia ayahku. lelaki pertama yang menyayangi dan menjagaku dengan
sepenuh hati.
Sesunggunya.. Aku hanya tidak ingin melihat ibu
menangis karena ayah.
Dan ketika aku mulai berpikir untuk membencinya, Ibu
menyadarkan aku untuk menepis rasa benci dan kecewa dengan mengingat dan
melihat kebaikannya.
Kebaikan-kebaikan yang hampir tertutup oleh rasa
kecewa.
“Sekarang kamu
tinggal pilih: memelihara rasa kecewa yang menjadi benci ini dengan terus mengingat
hal buruk, atau mengingat dan melihat kebaikan beliau, mencoba memaafkan dan
mendoakannya?” Kata ibu, kedua tangannya dengan lembut mengusap air mataku. Seolah sekaligus mengusap rasa kecewa yang tidak akan aku pelihara. Bagaimanapun, aku sayang ayah.
- - - - -
Happy father's day!
No comments:
Post a Comment