Masih di kelas. Sedang ada pelajaran matematika
...
“Untuk UAS, pelajari anuitas dan amortisasi.”
Kata dosen itu menutup pelajarannya.
Anuitas dan Amortisasi.. mata pelajaran yang aku
belum bisa bagaimana menghitungnya dengan kalkulator. Ah!
"Eh, lihat dong." Katanya menunjuk buku
matematika yang ada dimejaku. Refleks aku memberikannya. Tiba-tiba dia
menghampiriku dan berkata, "Boleh pinjam dulu? Gue fotokopi habis
ini." Aku yang kaget karena dia berdiri sedekat ini denganku sampai-sampai
aku bisa menghirup aroma parfumnya yang -baiklah- aku akui itu harum tapi tidak
menyegak. "Itu bukan punyaku,
itu punya Rani." Rani yang duduk tepat disebelahku langsung menoleh
mendengar namanya disebut.
"Ran, gue pinjem dulu, ya. Mau
fotokopi." Katanya.
"Oh, iya boleh."
"Kamu udah fotokopi?" Kali ini dia
bicara padaku.
"Belum." Jawabku.
Setelah dia kembali duduk di bangkunya, di
samping kanan tempat aku duduk sekarang.
Aku memang belum punya fotokopi materi itu dan
berencana akan mem-fotokopi-nya. Kebetulan.
Dia, aku menyebutnya cowok korea karena
penampilannya yang agak .. Hmm.. kekoreaan.
Dia mungkin tidak merasa begitu, kau tahu kan aku punya dunia drama sendiri
dan aku pikir dia itu cowok korea. Kulitnya putih, pakaiannya rapi, bersih,
memakai kacamata frame tebal dan tidak banyak bicara. Itu first impression-ku
waktu pertama kali melihatnya. Tenang saja, aku tidak menyukainya. Biasa saja.
Lama kelamaan aku jadi berpikir kalau dia itu agak so so misterius. Jarang
menyapa dan jarang berbaur dengan teman-teman yg lain. Dia selalu asik dengan
dua gadget-nya. Blackberry dan tablet samsung.
Aku tidak pernah menyapa/menegurnya duluan kecuali terpaksa, dan
akhirnya 'terpaksa' itu datang.
"Eh, mau fotokopi sekarang?" Tanyaku
sambil berusaha membuat dia melihat ke arahku.
Tapi entah suaraku yang kurang terdengar atau dia
yang memang tidak mendengar, dia tidak menjawab, asik melihat gadget-nya. Jadi
seperti sedang monolog kan gue.
Apa aku harus memanggil namanya agar dia melihat
ke arahku?
Ah, males banget manggil-manggil. Tapi, ini
terpaksa demi fotokopi matematika. Baiklah. Aku lupa namanya! -_-
"Ran, dia tuh siapa namanya?" Tanyaku
sambil menunjuknya.
"Siapa?Adit?"
"Oh.."
"Adit"
"..."
"Adit!"
Butuh dua kali untuk membuatnya merasa terpanggil. "Kamu mau
fotokopi matematika?" Tanyaku setelah dia menoleh ke arahku.
"Mau. Lo mau juga? Bareng aja di
bawah."
"Ok."
Apa? Ke tempat fotokopi berdua sama cowo korea
ini? Zzz. Dan, ya. Kita.. Urgh, ya, aku dan dia pergi ke tempat fotokopi.
Karena mengantri, kita terpaksa duduk menunggu. Dia duduk di sebelahku dan
harumnya masih sama seperti saat dia nyamperin waktu di kelas tadi. Parfum apa,
ya, enak banget wanginya.
Sambil menunggu fotokopian yang kurang lebih
berapa ratus halaman itu, kita berbincang-bincang ringan. Meskipun tangannya
tetap asik menyentuh samsung touchscreen-nya, men-scroll timeline path. (Kepo
dikit gapapalayaa. Hehehe)
"Kamu kerja di mana, sih?" Tanyanya.
Pertanyaan yang sekaligus membuka percakapan. Setelah itu, pembicaraan kita
mengalir begitu saja. Terkadang terhenti setelah diantara kita selesai
bercerita. Dan.. Hey, ternyata dia tidak se-senga yang aku kira selama ini. Dia
bisa bercerita panjang lebar dan menyampaikan pendapatnya dengan santai dan
that's nice.
Nggak, aku nggak terpesona. Biasa aja.
"Kamu baru masuk semester ini, kan?"
-oke gue kepo-
"Iya, sama kok"
"Tapi kamu emang nggak ngambil MKU apa
gimana? Emang bisa, ya?" -fyi, aku nggak pernah lihat dia di kelas agama,
kwn, dan MKU lainnya-
"Sebenernya aku tuh udah pernah kuliah
sebelumnya."
"Oh iya? Di mana?"
"Di *****. Udah mau lulus sebenernya udah
dikit lagi cuma keluar. Padahal udah hapal koding2 segala macam."
"Yah,kenapa? sayang banget padahal."
"Biasalah males segala macem."
"Hmm.. Udah berapa tahun?"
"Dua tiga (read: 23).."
-krik aku sebenernya bukan nanya umur dia. Aku
nanya dia udah kerja berapa tahun, gitu. Dan kayaknya dia menyadari itu. Aku
juga sih ya nanya random banget-
"Hmm, kalau kerja baru setaunanlah."
"Sayang banget itu padahal kamu sebentar
lagi lulus." (Fix gue random abis)
"Iya..tapi udah males mau gimana. Asalnya
malah nggak akan kuliah lagi, tapi gue kan cowo. Cowo tuh tanggung jawabnya
buat kedepannya. Kalau cewe kan istilahnya kalau udah punya suami, yaa udah,
done. Kalau cowo kan terus dong, mau ngasih makan istri sm anak pake apa kalau
ga kerja?"
Aku mangut2 aja. Dalam hati aku pikir, namja
banget udah mikirin istri sama anak. Something wow aja .hehe. Aku tahu cowo
yang berpikiran gitu nggak cuma dia aja.
"Emang di tempat kamu kerja sekarang, ada
perbedaan gaji kalau buat yang lulusan SMA?"
"Ngga sih, tapi ya gini deh mikirnya kita
sekarang kerja misalnya kita udah ada di comfort zone, udah enak. Tapi kan ya at least kita pasti nggak akan selamanya
kerja disitu. Seenggaknya kalau kita mau lamar kerja dan udah sarjana tuh bisa
jadi bahan pertimbangan. Karena di beberapa perusahaan tuh percuma kalau kita
punya skill sebagus apapun tapi pas lihat ijazah cuma SMA. Apalagi kalau
ternyata mereka maunya yang udah sarjana."
Katanya panjang lebar dan aku cuma bisa jawab :
"iya, sih. Itu masalahnya." Aku menghela nafas.
"Kamu emang umurnya berapa?" -ah dia
juga random sodara-sodara -
"Dua puluh."
"Oh, masih muda." -helow, 23 juga masih
muda kali-
"Berarti km kelahiran '93 ya?" Tanya
dia lagi.
"Iya, km? '90?" -oke gue sotoy-
"Sembilan satu."
"Hmm.."
"Sebenernya males, sih, tapi gue lihat
ternyata masih ada yang lebih 'senior' dari gue yang masih semangat kuliah.
Jadi gue agak tenang."
"Iya mereka masih semangat. Ga boleh
kalah."
Percakapan pun berakhir setelah abang fotokopian
memberikan fotokopinya. Kita berjalan keluar dan nggak ngomong apa-apa lagi.
Akhirnya aku coba mencairkan suasana, "kamu langsung pulang, ya?"
-fyi, setelah ini aku masih ada kelas kewarganegaraan dan dia ga ngambil matkul
itu-
"Iya.. Hmm, selamat puasa, ya."
"Iyaaa, selamat liburan! Hehe" -maksud
gue sih selamat minggu tenang-wkwk
Dia ketawa dan berjalan ke tempat parkir. Menghilang
karena gelap jadi dia ga kelihatan lagi.
... Wow! Cowo korea yang so so misterius itu
ternyata bisa ngobrol banyak juga. Ternyata aku salah dengan penilaianku ke dia
yang sia tuh senga, so cool, bla bla bla. Mungkin emang sifat dan image dia aja
kaya gitu.
Jadi, banyak sih sebenarnya yang ingin aku bahas
dari kejadian itu. Aku agak kurang setuju sama pendapat dia yang cewe tuh ya
kalau udah nikah ya istilahnya 'done'. (Done itu maksudnya yaudah lo ga perlu
mikirin cari uang karena ada suami lo yg bakal cari nafkah.Gitulah.) Sebenernya
nggak se-'done' itu juga sih. Nggak sekasar itu gitu. Karena nggak mungkin juga
ya seorang istri nggak bantu suaminya. Unless kalau emang suaminya nyuruh
istrinya buat jadi IRT. Tapi, jadi IRT juga bukan berarti istri itu lepas
tangan "gamau tau pokoknya duit belanja harus ada bla bla bla" juga.
Istri juga bisa usaha bantu suaminya.ya wirausaha. Kecuali kalau istri itu
workaholic dan diizinkan suaminya bekerja. Tapi aku rasa ada beberapa suami
juga ada gengsi dikit kali ya kalau istrinya kerja. Aku pengen banget bahas ini
tapi next post ajalahya kapan-kapan. Intinya, sih dari beberapa teman cowo aku
di kampus, mereka kelihatannya bersungguh-sungguh kuliah demi kehidupannya
kelak bersama keluarga yang dicintainya. Kurang Namja apa. Ya, mudah2an bukan
cuma teori / rencana aja ya mereka bilang kaya gitu :)
No comments:
Post a Comment