“ANJ*NG LO!” Terdengar suara Ayah disusul dengan suara
benda yang dibanting. Entah apa yang dia banting, yang aku tahu sumpah serapah
itu ditujukan pada Ibu. Aku duduk bersandar dibalik pintu kamar dengan tatapan
kosong memeluk kedua lutut.
Tidak ada perempuan yang tidak sedih saat mendengar perkataan kasar keluar dari orang yang dia sayangi. Tidak ada.
Ini memang bukan pertama kalinya
aku mendengar Ayah membentak dan memarahi Ibu seperti itu. Tapi ini kesekian
kalinya aku tidak bisa berbuat apa-apa. Maafkan aku, Ibu.
Masih terdengar suara Ayah dengan
nada tinggi mengulang-ulang perkataannya. Perkataan yang tidak sepantasnya
dilontarkan begitu saja kepada wanita yang sapai saat ini menjadi teman
hidupnya saat susah dan senang.
Ibu tidak sengaja me-reject telepon dari Kakak yang sedang
tugas ke luar kota dan aku rasa itu bukan masalah. Kenapa Ayah harus
marah-marah? Kalaupun memang ada masalah lain yang aku tidak tahu, dia tidak
seharusnya bersikap seperti itu pada Ibu.
Aku malu. Suara Ayah pasti
terdengar sampai ke rumah sebelah. Meskipun sebenarnya aku tidak peduli dengan
apa yang akan mereka pikir terhadap keluargaku, tapi aku malu. Mereka pasti
merasa terganggu dengan ini.
Ayah, Apa Ayah benar-benar
mencintai Ibu?
***
“Kenapa Ibu tidak berpisah saja dengan Ayah?” Pertanyaan
ini membuat komik yang sedang dibaca Kakak mendarat di kepalaku.
“Aw!”
“Kamu kalau ngomong jangan asal! Ucapan itu doa!”
“Aku nggak lagi berdoa, aku cuma nanya.” Aku melempar
balik komik itu.
“Kenapa kamu nanya kaya gitu?”
“Kalau berpisah dengan Ayah bisa membuat mereka
bahagia, kenapa nggak?”
Kakak terdiam, melanjutkan membaca komiknya.
Aku tahu sekarang dia tidak sedang benar-benar
membaca. Tatapannya kosong.
Selama ini, sekecewa apapun aku, Kakak, dan Ibu, kami
tidak pernah mengeluh apa lagi marah-marah pada Ayah. Ibu mengajarkan aku dan
Kakak untuk tetap menghargai Ayah sebagai kepala keluarga. Seharusnya Ayah tahu
itu. Seharusnya Ayah juga tahu bagaimana menghargai wanita yang sudah bersedia
menjadi pasangan hidupnya.
“Kita doakan saja semoga Ayah berubah.” Perkataan
yang sering Ibu katakan setiap tahu aku diam, menahan marah pada Ayah. Aku
dapat merasakan harapan yang Ibu punya setiap beliau mengatakan itu. Tapi mungkin
Ibu tidak tahu di dunia ini ada teori tentang people don’t change.
Atau mungkin Ibu tahu, beliau hanya pura-pura tidak
tahu.
Terkadang aku takut suatu hari setelah aku menikah, suamiku
nanti akan seperti Ayah yang suka berkata kasar dan marah-marah saat merasa
kecewa. Aku tidak mau diperlakukan seperti itu. Aku tidak sekuat Ibu. Aku takut, Bu.
Setidaknya tidak semua laki-laki di dunia ini sama.
Itu yang membuatku masih memiliki harapan dipertemukan
dengan laki-laki yang tahu bagaimana seharusnya memperlakukan perempuan
sekalipun saat dia merasa kecewa.
***
No comments:
Post a Comment