Friday 18 March 2016

Untitled - Part 1



“ANJ*NG LO!”  Terdengar suara Ayah disusul dengan suara benda yang dibanting. Entah apa yang dia banting, yang aku tahu sumpah serapah itu ditujukan pada Ibu. Aku duduk bersandar dibalik pintu kamar dengan tatapan kosong memeluk kedua lutut.

Tidak ada perempuan yang tidak sedih saat mendengar perkataan kasar keluar dari orang yang dia sayangi. Tidak ada. 

Ini memang bukan pertama kalinya aku mendengar Ayah membentak dan memarahi Ibu seperti itu. Tapi ini kesekian kalinya aku tidak bisa berbuat apa-apa. Maafkan aku, Ibu.
Masih terdengar suara Ayah dengan nada tinggi mengulang-ulang perkataannya. Perkataan yang tidak sepantasnya dilontarkan begitu saja kepada wanita yang sapai saat ini menjadi teman hidupnya saat susah dan senang.
Ibu tidak sengaja me-reject telepon dari Kakak yang sedang tugas ke luar kota dan aku rasa itu bukan masalah. Kenapa Ayah harus marah-marah? Kalaupun memang ada masalah lain yang aku tidak tahu, dia tidak seharusnya bersikap seperti itu pada Ibu.
Aku malu. Suara Ayah pasti terdengar sampai ke rumah sebelah. Meskipun sebenarnya aku tidak peduli dengan apa yang akan mereka pikir terhadap keluargaku, tapi aku malu. Mereka pasti merasa terganggu dengan ini.
Ayah, Apa Ayah benar-benar mencintai Ibu?
***
“Kenapa Ibu tidak berpisah saja dengan Ayah?” Pertanyaan ini membuat komik yang sedang dibaca Kakak mendarat di kepalaku.
“Aw!”
“Kamu kalau ngomong jangan asal! Ucapan itu doa!”
“Aku nggak lagi berdoa, aku cuma nanya.” Aku melempar balik komik itu.
“Kenapa kamu nanya kaya gitu?”
“Kalau berpisah dengan Ayah bisa membuat mereka bahagia, kenapa nggak?”
Kakak terdiam, melanjutkan membaca komiknya.
Aku tahu sekarang dia tidak sedang benar-benar membaca. Tatapannya kosong.

Selama ini, sekecewa apapun aku, Kakak, dan Ibu, kami tidak pernah mengeluh apa lagi marah-marah pada Ayah. Ibu mengajarkan aku dan Kakak untuk tetap menghargai Ayah sebagai kepala keluarga. Seharusnya Ayah tahu itu. Seharusnya Ayah juga tahu bagaimana menghargai wanita yang sudah bersedia menjadi pasangan hidupnya.

“Kita doakan saja semoga Ayah berubah.” Perkataan yang sering Ibu katakan setiap tahu aku diam, menahan marah pada Ayah. Aku dapat merasakan harapan yang Ibu punya setiap beliau mengatakan itu. Tapi mungkin Ibu tidak tahu di dunia ini ada teori tentang people don’t change.
Atau mungkin Ibu tahu, beliau hanya pura-pura tidak tahu.

Terkadang aku takut suatu hari setelah aku menikah, suamiku nanti akan seperti Ayah yang suka berkata kasar dan marah-marah saat merasa kecewa. Aku tidak mau diperlakukan seperti itu. Aku tidak sekuat Ibu. Aku takut, Bu.

Setidaknya tidak semua laki-laki di dunia ini sama.
Itu yang membuatku masih memiliki harapan dipertemukan dengan laki-laki yang tahu bagaimana seharusnya memperlakukan perempuan sekalipun saat dia merasa kecewa.

***

No comments:

Post a Comment

Dua Puluh Tahun

Tenang, kali ini kita tidak akan bertemu aku 20 tahun lalu. Haha. Dua puluh tahun adalah alasanku 'menolak' orang yang pertama kali ...