Tuesday, 1 March 2016

Welcomaret!

It's never too late to say share sorry story. 
Cause I'm missing more than just your body ~ #Lah #Nyambung

Haloo!
Meskipun sekarang bulan Juni, tapi tulisan ini adalah cerita tentang bulan Maret.
Aku lupa apa aku pernah tulis salah satu keinginan yang ini apa belum: Resign (dari kantor lama).
Kayaknya belum, sih. 
Aku memang nggak begitu banyak cerita tentang keinginanku yang satu ini. Hanya orang-orang terdekat aku aja yang tahu betapa inginnya aku keluar dari sana. Salah satu alasannya adalah jenuh. Aku merasa aku tidak akan maju dan berkembang kalau tetap berada di sana. Kehidupanku akan gitu-gitu aja dan aku nggak mau. Aku nggak mau 'gitu-gitu aja'.
Entah kenapa aku yakin banget aku akan bisa menjadi lebih maju dan lebih baik kalau aku keluar dari sana. Aku bahkan masih ingat saat Ramadan tahun lalu, aku bilang sama diri aku sendiri "Ini adalah puasa terakhir aku di sini." 

Sebenarnya simple, kalau mau resign ya resign aja. Ribet amat lu, Sa. 
Iya, kan?
Tapi kenyataan tidak se-simple itu. Khususnya bagi orang-orang seperti aku kalau aku resign begitu saja. 
Mungkin kalian tahu kalau ada rumus:
RESIGN* = BUNUH DIRI  
*belum dapat pekerjaan baru.

dan rumus mengerikan itu berlaku untukku. 
Ini adalah kenyataan tersesak yang pernah aku rasakan. Aku harus punya pekerjaan baru sebelum aku mengajukan resign. 
Aku harus tetap bekerja sampai aku dapat pekerjaan baru. 
Saat itu aku menjalani hari dengan agak terpakasa karena aku tidak punya pilihan lain selain bertahan, setidaknya untuk sementara.
Tidak perlu dibayangkan bagaimana rasanya menjadi aku saat itu.
Seperti robot, setiap hari aku harus memaksa diriku untuk pergi ke tempat yang aku tidak ingin. Setiap hari aku harus melakukan pekerjaan yang aku sudah tidak ingin mengerjakannya. Demi bertahan hidup. Demi uang.  

Aku sering mengeluh sampai Ayah dan Ibu mengingatkanku untuk ikhlas. "Bekerja itu ibadah. Jangan berhenti berdoa dan berusaha." 
Setiap hari, di sela-sela jam kerja, aku mencari informasi lowongan kerja, mengirim lamaran kerja melalui email, dan membuat akun di berbagai platform lowongan kerja kemudian mengirim lamarannya. 
Satu minggu, dua minggu, tidak ada tanda kalau aku diterima atau diundang untuk interview. 
Aku sempat berpikir kalau situs pencari lowongan pekerjaan itu bohong, php. Padahal, mungkin memang kualifikasi yang aku punya tidak cocok dengan mereka. Aku tidak menyerah. Kakak pernah bilang "Dari ratusan lamaran yang kamu kirim, pasti ada satu yang masuk." dan aku percaya.

Suatu hari ada panggilan interview pertama di perusahaan cctv. Aku senaaaang sekali. 
Namun, aku tidak mengambil kesempatan itu karena lokasinya yang sangat jauh. 

Setelah itu aku tidak mendapat panggilan interview dari manapun selama beberapa bulan. Padahal, aku terus mengirim lamaran pekerjaan.  
Pernah dengar orang bilang "Mendapatkan pekerjaan itu susah." ?
Ya, itu benar. Bahkan untuk orang yang sudah sarjana sekalipun karena kenyataannya memang begitu. Di satu sisi, aku bersyukur aku bisa bekerja di saat ratusan bahkan ribuan orang belum mendapat pekerjaan. Tapi di sisi lain, aku tidak ingin selamanya seperti ini. 

Sekitar bulan apa (#lupa) di 2015, satu lamaran kerja aku diterima dan aku diundang untuk mengikuti psikotest di salah satu super market di Bandung. Bisa dibilang, itu pertama kalinya aku mengikuti psikotest kerja. Ada sekitar 20 orang yang mengikuti psikotest dan hanya akan ada satu orang yang diterima.  Aku sempat berpikir "Apa mereka semua ini 'saingan'ku?" Dari situ aja kita sudah bisa dilihat banyak banget orang yang mencari pekerjaan. Saat interview, aku sudah feeling nggak akan diterima. Tapi tidak jadi masalah juga karena aku tidak begitu 'sreg' sama sistemnya. 
Lagi, aku harus bersabar. :)

Di saat aku mulai hopeless, ada telepon dari tempat les bahasa Inggris yang aku lamar. Rasanya? Aku suka bahasa Inggris. Aku senang banget! Mereka memintaku datang untuk interview. Eh, ternyata ada test lagi! Test excel yang aku nggak ngerti harus pakai rumus apa, tapi aku kerjakan sebisanya. Saat interview, aku merasa kurang nyaman dan feeling lagi nggak keterima. 
Benar saja, setelah hari itu aku tidak dihubungi lagi yang berarti tidak diterima. Jujur cara "tidak dihubungi lagi" ini adalah cara tergajelas dalam dunia kerja. Aku pernah menulis tentang itu di sini
Padahal, aku sudah membayangkan betapa asiknya bisa bekerja di tempat les bahasa Inggris. :')
"Mungkin ini yang terbaik untuk aku." Aku bilang itu ke diri aku sendiri berulang-ulang buat menghibur diri. 

Kalau diingat lagi, ada satu hari setelah gajian aku menangis sampai sengguk-senggukan. Aku menangis di kantor. Kebetulan tempatku bekerja di bawah tangga dan tidak ada orang lain lagi selain aku.  Aku menelepon Mami sambil menahan tangis, "Mi, Sasa pengen resign." setelah itu tangisanku pecah karena aku tahu aku tidak bisa resign begitu saja. Aku tidak mau menambah beban orangtua. Tetapi aku tetap menangis. Mengulang kata "Sasa pengen keluar aja." meskipun itu tidak akan mengubah apa-apa. Aku tahu apa yang aku lakukan hanya kana membuat orangtuaku sedih. Tapi aku nggak bisa menyembunyikan perasaan aku saat itu. Maafin Sasa ya, Mi, Pi.

2016 datang. Awal tahun aku biasa menulis mimpi-mimpiku dan resign masih menjadi salah satunya.
Siang itu, aku mendapat email dari perusahaan yang menyebutkan aku diundang untuk wawancara. 
Tidak lama setelah itu, ada panggilan masuk dari perusahaan yang sama. Dia bertanya, "Sekarang posisinya masih bekerja apa sudah resign?" 
pertanyaan yang bikin dilema. Mau bilang udah resign, aku masih kerja. Kalau bilang masih kerja, takut nggak diterima. :(
Akhirnya aku bilang "Aku masih kerja. Tapi aku udah mau resign." 
"Hmm, yaudah kalau gitu besok datang dulu aja buat interview." 

Interview kali itu, membawaku keluar dari kantor yang lama. Aku sangat bersyukur. :")
1 Maret 2016, keinginanku untuk resign terkabul. Berkat doa orang tua dan dukungan orang-orang terdekat. Aku resign dan memulai cerita yang lebih bahagia. 
Alhamdulillah.
Begitulah awal Maretku.

No comments:

Post a Comment

Dua Puluh Tahun

Tenang, kali ini kita tidak akan bertemu aku 20 tahun lalu. Haha. Dua puluh tahun adalah alasanku 'menolak' orang yang pertama kali ...