Thursday, 25 February 2016

Until It’s Gone


“You don’t know what you have until it’s gone.”

Kutipan ini cocok banget buat orang-orang yang jarang bersyukur dengan apa yang mereka miliki sekarang. ‘What you have’ yang aku maksud adalah orang-orang yang ada di kehidupanmu. (Bisa keluarga, pacar, teman, asisten rumah tangga, atau karyawan).

“Truth is, you knew what you had, you just NEVER thought you’d lost it.”

Jangan sampai kamu tahu apa yang kamu punya, tapi kamu nggak pernah kepikiran kalau mereka bisa pergi kapan aja. Biasanya, orang yang seperti itu adalah tipical orang sombong yang menganggap atau memandang remeh orang lain. Merasa dia bisa berdiri dan menjalani hidup sendiri tanpa harus menghargai orang-orang yang ada disekitarnya. Cukup ingat satu hal, manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri.

Itulah kenapa sekecil apapun, kita harus bersyukur. Meskipun kita sering merasa kurang (bagaimanapun manusia tidak akan pernah merasa cukup). Bersyukurlah!
Bersyukur di sini bukan berarti kita pasrah menerima keadaan begitu saja loh, ya! Bukan berarti kamu menjalani hari-hari kamu dengan ‘yaudahlah’.

Pernah dengar istilah ‘rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau?’ Itu benar dan apa yang ada di sana akan selalu terlihat LEBIH dari yang kita punya. Dengan catatan jika kita tidak bersyukur.

“Rumput tetangga lebih bagus dan ada bunganya. Rumput rumah gue kering dan banyak hama. Yaudahlah bersyukur aja.”
No. Bukan gitu!
Kalau kamu merasa rumput tetangga lebih hijau, buatlah rumput halaman kamu lebih hijau seperti yang kamu inginkan. Jangan ikut-ikut tetangga. Kalau kamu suka rumput warna-warni, kenapa nggak? #iniApa

Maksudku, ketika kamu melihat apa yang dimiliki orang lain LEBIH BAIK dari yang kamu miliki dan berpikir kamu akan menjadi lebih baik jika kamu punya yang mereka punya, jangan langsung beranggapan yang kamu punya sekarang itu nggak baik.
Aku rasa hal yang paling benar adalah coba bicara pada mereka (orang yg kamu bandingkan) apa yang kamu inginkan, ajak mereka untuk menjadi lebih baik.  

Istilahnya, kebanyakan orang ‘tergoda’ karena melihat ‘rumput tetangga’ dan memutuskan untuk mencari, mendapatkan rumput yang lebih hijau. Dan baru merasa kehilangan setelah pergi. Baru sadar kalau yang selama ini mereka punya adalah yang terbaik.   
 Bersyukur Pasrah

Bersyukur juga nggak cuma bilang “gue bersyukur punya karyawan yang loyal,” misalnya.
Hargailah mereka. 
For instance, don’t take them for granted because she is just servant in their house.
Ingat, kamu nggak bisa melakukan semuanya sendiri tanpa mereka.
Menghargai mereka adalah salah satu cara kamu bersyukur dengan apa yang kamu punya.
Ada banyak cara menghargai orang-orang yang ada disekitar kita. Setidaknya, jangan melukai perasaan mereka dengan ucapanmu, jangan membuat mereka sedih karena sikapmu. Jangan lupa belajar berempati. Itu penting kalau kata aku.

Perlakukan orang-orang yang ada di sekitarmu dengan baik sebagaimana kamu juga ingin diperlakukan. Meskipun yang satu ini nggak menjamin orang lain akan balik berbuat baik sama kamu, sih. But, so what?
Setidaknya kita sudah berbuat baik. Jika suatu hari nanti mereka pergi dan kamu kehilangan mereka, ada kenangan baik yang ditinggalkan.
Pokoknya, jangan sampai kamu menyesal dan berharap waktu berputar kembali saat orang disekitarmu pergi.

Know what you have. They will not be there for you forever.

Friday, 19 February 2016

Cerita Bibi

“Kok tega bener gitu ya, Teh. Saya pulang cuma tujuh hari, gaji saya dipotong. Padahal selama enam bulan saya kerja sendirian. Ongkos pulang kampung juga nggak dikasih.” Mata Bibi berkaca-kaca sambil menunjukkan slip gajinya.  Tertulis gaji pokok dikurang tujuh hari tidak masuk, sehingga Bibi itu hanya mendapatkan sekitar 70% dari gaji yang seharusnya. Aku miris melihat jumlah angka yang dibayarkan sambil mengelus pundak Bibi yang ingin menangis.
“Bibi udah coba tanyain?”
“Sudah. Saya tanya kenapa kok perhitungan sekali. Saya selama ini kerja sendiri dan izin pulang tujuh hari. Kenapa gaji saya harus dipotong?”
“Terus apa katanya?”
“Jangan bahas yang dulu-dulu. Yang sudah ya sudah aja,” Bibi memperagakan gaya bicara majikannya.
“……”
Aku tidak tahu harus berkata apa. Rasa marah ini tidak bisa aku ungkapkan.
“Sabar ya, Bi.” Perkataan yang tidak akan mengubah apapun, tapi setidaknya bisa membuat tenang walau sedikit.
“Iya, Teh. Sebenarnya saya udah nggak kuat kerja di sini. Tapi saya mau nunggu sampai lebaran aja, nunggu THR.” Sangat jelas terlihat kesedihan yang sedang Bibi rasakan sampai aku pun merasakannya. Aku hanya bisa berdoa semoga Bibi diberi kesabaran dan kekuatan untuk bertahan. Semoga Bibi mendapat pekerjaan yang jaaaauh lebih baik setelah keluar dari sini.
Bibi adalah salah satu dari sekian banyak asisten rumah tangga yang (menurutku) diperlakukan seenaknya. Aku heran, kenapa ada orang yang tidak menghargai apa yang sudah dilakukan pegawainya? Padahal, tanpa pegawai mereka tidak akan bisa menjadi seperti sekarang.
Maksudku,  lihat rumah besar ini! Rapi, bersih, hampir tidak ada debu sedikitpun. Anda belum tentu bisa membuat rumah Anda sebersih ini SENDIRIAN. Setiap hari, dari pagi sampai pagi lagi, mereka selalu ada dan siap melakukan pekerjaan. Setiap hari, sepanjang waktu. Jam kerja mereka lebih banyak dibanding karyawan lain yang datang jam 9 pagi kemudian pulang jam 5 sore. Tidak ada lembur, tidak ada libur. DAN ANDA MASIH TEGA MEMOTONG GAJI MEREKA SAAT MEREKA IZIN PULANG KAMPUNG SELAMA TUJUH HARI!?
---------------------------------

Aku harap, kalian bukan termasuk orang yang ‘kejam’ seperti majikan Bibi pada cerita di atas. Jika suatu hari nanti kalian memiliki pegawai, jangan pernah lupa untuk berterima kasih. Bagaimanapun, usaha kamu bisa maju itu karena ada pegawai yang membantu. Ya, aku tahu mereka dibayar. Tapi bukan berarti mereka bisa diperlakukan seenaknya.
Setidaknya, jangan lupa mengucapkan terima kasih.
Khususnya kepada pegawai yang berada di rumahmu selama 24/7. Mereka rela tinggal jauh dari keluarga mereka untuk bekerja. Mereka mengorbankan waktunya untuk mengerjakan semua pekerjaan rumahmu. Hargailah.
Buat mereka merasa nyaman dan merasa sedang berada ‘di rumah’. Aku tahu, rasa rindu pada keluarga di kampung tidak akan bisa digantikan oleh apapun kecuali bertemu. Jika kamu membuat mereka nyaman bahkan sampai menganggap kamu adalah keluarganya akan membuat rasa rindu itu sedikit terobati.
Kamu tidak tahu berapa kali mereka menangis menahan rindu ingin bertemu suami/istri dan anak. Jangan egois! Berikan waktu untuk mereka pulang berkumpul bersama keluarga.
Kamu menggaji mereka bukan berarti kamu membeli semua waktunya.
Coba belajar untuk menghargai dan berempati.
Sesekali ajak mereka jalan-jalan, makan di restaurant. Ajak mereka ‘melihat dunia’. Misalya ikut belanja bulanan ke supermarket, jalan-jalan ke mall.
Aku yakin mereka pasti senang. Kau tahu? Pekerjaan yang dilakukan dengan hati senang itu hasilnya terlihat berbeda dari pekerjaan yang dikerjakan hanya karena memang sudah tugasnya. Sesederhana itu.

Wednesday, 17 February 2016

I am Looking Forward to Your Reply

“Thank you for your kind attention, and I am looking forward to your reply,” Is the closing sentence that usually used in application letter. And I ‘m sure the applicants are (hopefully) waiting for the reply. Yeah, they are waiting.

Actually, what they are waiting for is just confirmation whether they’re accepted (to face the next step: interview) or not. That’s all.
I’ve been sent many application letters for many companies with the same closing sentence and MOST of them didn’t reply my email at all.
Everyone knows it was kind of rejection.

Sometimes I think the way they ‘reject’ the applicants is quite mean and makes me wonder why they let the applicants waiting, hoping, and guessing all day long(?)
Did my email sent? Or…. received as spam?
Did they read the email?
Did they know that many applicants ‘refresh’ their inbox page twice an hour waiting for a reply?

I guess they did but they ignore it for many reasons that we will never know why.
And after that, the applicants have two choices: keep wondering why or moving on and act like we never send the application letter to them.
Whether we accepted or not, they should tell us just to make sure.
I’m not asking the companies to reply ALL the applicants email if they won’t. It’s up to them, anyway.

Also, maybe you ever heard the interviewer said, “Thank you for your time. We will contact you later.”
(( Later ))
(( Later ))
(( Later ))
Don’t know how long the later is until (if you’re not accepted) it changes become never.
What the uncertainty :”)
They said they will contact you but they never did.
That is another kind of rejection.
In brief, maybe you’re not a person they’re looking for.

And if those things happen to you, don’t you ever give up!  Just DON’T!
Don’t stop there!
Keep send your application letter until you get the best. Go tell it to yourself. There’s nothing useless in struggling, even when you’ve rejected many times.
Keep learn, improve your skills, enrich your knowledge.
Don’t you ever give up!  

And hey, don’t forget to smile :)

Tuesday, 16 February 2016

Macet

Macet adalah sesuatu yang tidak disukai, tidak diharapkan, dan tidak diinginkan oleh hampir semua pengguna jalan.
Kenapa aku bilang hampir semua?
Karena pada saat dan keadaan tertentu justru macet bisa jadi sesuatu yang menyenangkan. Misalnya, kamu lagi mau pergi sama gebetan, pacar atau siapalah itu, terus di jalan itu macet banget. Kamu bakal kesal apa senang? Kayaknya kalau kamu lagi fall in love banget, kamu nggak akan mempermasalahkan macetnya karena otomatis waktu kamu bareng dia jadi lebih lama. Sambil nunggu macet kamu bisa ngobrol, bercanda atau foto bareng di tengah kemacetan(?) Jadi enjoy aja gitu. Iya, nggak?
HAHA.
HA.
#yeu

Kalau diadakan polling tentang perasaan para pengguna jalan ketika bertemu dengan kemacetan, mungkin hasilnya akan seperti ini:

Berdasarkan ke-sok tahu-anku, sebagian besar dari mereka merasa stress. Macet yang membuat kesal berkepanjangan akan membuat seseorang merasa stress dan menyerap energi-energi negatif lainnya. Sebagian lagi merasa marah, lebih tepatnya marah-marah. Entah marah pada siapa yang jelas aku sering melihat pengguna jalan yang berubah jadi ‘monster’ karena macet. 
Sisanya merasa senang atau biasa saja.
Begitulah.

Sebenarnya apa, sih, yang menyebabkan terjadinya macet?
Kendaraan
Jadi ingat salah satu motion waktu latihan buat lomba debat: “THBT The Number of motorcycle should be limited”. Cukup mudah bagi proposition team mencari alasan dan fakta yang kuat untuk meyakinkan jumlah motor memang harus dibatasi. Ini bisa jadi salah satu solusi mengatasi kemacetan.
TAPI, pernah berpikir nggak kalau jumlah motor (kendaraan) dibatasi, otomatis produksinya pun dibatasi, akan banyak perusahaan otomotif yang mengalami penurunan penjualan dan berdampak pada pengurangan karyawan?
Hm.
Serba salah, kan?
#JadiDebatSendiri  XD
Intinya, semakin banyak kendaraan di jalan, semakin besar potensi macetnya.

Jalan
“Ini jalannya cuma muat satu mobil, sih.”
“Jalannya kurang besar, nih. Makanya jadi macet.”
Ada nggak sih yang pernah nyalahin lebar jalan yang kurang besar atau berpikir kalau jalan itu diperluas, jadi nggak akan macet?
ADA.
Dan ada nggak sih jalan yang udah diperlebar sedemikian rupa, tapi tetap macet?
BANYAK.
So?
Kayaknya, ujung-ujungnya kembali lagi ke jumlah kendaraan, ya.

Pengendara
Ada dua hal yang membuat pengendara atau pengemudi menjadi penyebab kemacetan:


1.       Keegoisan
Aku baru sadar kalau ternyata macet itu disebabkan oleh keegoisan si pengendara itu sendiri. Kalau kalian perhatikan, banyak banget pengendara yang egois.  Mereka berkendara seakan mereka adalah pemilik jalan. Bersikap seolah kendaraan lain adalah butiran debu. #yaelah
Perlu contoh keegoisan pengendara?
-          Pengemudi angkutan umum yang berhenti seenaknya tanpa memberi tanda.
-          Pengendara yang ‘maksa’ putar balik kendaraannya ditengah kemacetan.
-          Pengendara yang melawan arah dengan watados-nya.

Suatu hari, aku pernah terjebak macet yang seeeemacet-macetnya jalan. Pokoknya sama sekali nggak jalan ada kali dua puluh menit. Aku pikir ini kenapa macet banget apa ada kecelakaan? Eh, taunya macet itu karena ada truk yang mau belok (motong jalan) tapi nggak bisa-bisa karena jalan sebelahnya pun macet. Dan truknya DIAM GITU AJA di tengah jalan. T^T
Supir truk tersebut mungkin mengeluh, “Macet banget sih gue jadi susah mau lewat!” tanpa sadar dia sendiri juga bikin macet.
Sampai akhirnya ada polisi yang nyuruh truk itu jalan terus, muternya di depan. Baru deh truk itu maju. Demi apapun itu kejadian paling egois yang pernah aku lihat.
Jalan itu kan transportasi publik. P-U-B-L-I-K, artinya milik bersama. Jadi tolong jangan egois-egois bangetlah kalau lagi di jalan.

2.       Kurangnya Pengetahuan tentang Lalu Lintas
Apa yang dikatakan oleh Pak polisi ketika aku akan membuat SIM itu benar, “Masih banyak orang
yang tidak tahu peraturan rambu-rambu lalu lintas.”
Nggak percaya? Ketika kamu lagi di perjalanan, coba lihat saja sekitarmu. Pasti ada aja yang melanggar rambu-rambu lalu lintas.

Hal yang paaaaaling sederhana misalnya marka jalan.
Itu loh garis putih yang biasa jadi pemisah mobil sesuai dengan arahnya. Selain menjadi ‘pemisah’ ternyata garis putih itu punya artinya. Perhatikan, kalau garisnya putus-putus itu berarti kita boleh melewati, memotong, dan menyalip batas itu (selama aman). Kalau garisnya garis terus yang panjang (biasanya di tikungan), berarti kita  sebaiknya tidak melewati garis.
Jangankan marka jalan. Tanda dilarang putar balik gitu aja sering dilanggar. Aku nggak kebayang apa rasanya jadi tanda itu: nggak dianggap. Sedih banget pasti  #yah #baper

Apa susahnya, sih, cari jalan yang memang aman untuk mutar balik? Nggak mau rugi banget harus jalan lebih jauh buat mutar?
Pernah ada orang yang marah-marah ke aku karena menurut dia aku menghalangi jalan dia. PADAHAL jelas-jelas dia jalan bukan dijalurnya dan melawan arah pula. Dia yang salah, dia yang marah-marah. Heran.
Orang-orang yang seperti itulah yang menyababkam jalanan macet dan semerawut. Udah macet, penuh kendaraan, semerawut pula. Sungguh paket lengkap menuju stress banget. #sabar
Mereka mungkin belum sadar aja. :)   

Yuk, kita sadarkan! /siram air/ 

Thursday, 11 February 2016

The Train Foya

Sebenarnya nggak ada tuh kejadian ‘ditabrak kereta’. Mereka yang nabrak. Sudah jelas, kereta selalu melaju di jalurnya. Pengguna jalan juga selalu diingatkan untuk berhenti saat kereta akan lewat. Tapi ketika ada kecelakaan, selalu bilang ditabrak kereta. Seolah kecelakaan itu terjadi karena salah kereta yang tidak mau berhenti saat ada kendaraan melintasi jalurnya.

Aneh, kan?
Hampir setiap hari aku melewati jalur rel kereta dan hampir setiap hari juga aku ‘terjebak’di sana. Maksudku, aku harus berhenti sebentar menunggu kereta lewat.  Kau tahu? Aku suka melihat kereta. Mendengar bunyi ‘klakson’-nya, suara mesinnya, dan suara gesekan antara roda yang berputar dengan relnya, khas sekali. Jugijagijugijagijug. Gitu.

Aku sering membayangkan bagaimana rasanya  berada di dalam kereta dan melihat kendaraan berhenti karena aku kereta yang aku naiki sedang lewat. Jadi seperti bertukar point of view. Someday I’ll know that feeling, anw.  Ya, aku memang belum pernah naik kereta jadi harap maklum. Haha. xP

Tidak hanya aku, anak kecil pun menyukai pemandangan ‘kereta lewat’ itu. Suatu hari, aku melihat anak kecil yang sudah kegirangan saat motor ayahnya berhenti  terhalang palang. Dia sampai naik jok untuk melihat apakah keretanya masih jauh atau sudah dekat. Ketika suara kereta semakin jelas terdengar, dengan mata berbinar dia melambaikan tangannya.  
“Dadaaah!” dia terus melambaikan tangan sampai kereta itu lewat bahkan ketika palang mulai dibuka, dia masih seperti itu.
I was like, really what are you doing, kid? People there will not wave their hand back to you and they even didn’t notice you. But when I saw his face, I know that he is happy seeing that train.
Mungkin sama bahagianya ketika aku membayangkan aku yang berada di kereta itu. So, yeah.
Aku dan anak kecil itu adalah sebagian dari sangat sedikitnya orang yang bisa ‘bahagia’ ketika harus berhenti dan menunggu kereta lewat.

Lebih banyak bahkan banyaaaak banget orang yang merasa terganggu dan dirugikan saat terpaksa berhenti dan menunggu kereta lewat.
Aku nggak bisa hitung jumlah pengendara yang sering merasa jalan kereta itu adalah miliknya sehingga mereka terus melaju saat palang sudah ditutup. Percaya atau tidak, banyak banget dari mereka yang nekad melawan arah supaya bisa tetap lewat. Crazy enough to die, sih, kalau kata aku.
Aku harap kalian bukan salah satunya. Hehe.  

Mungkin mereka sedang terburu-buru, tidak sabar, alergi kereta api, atau sedang dalam keadaan terdesak untuk menyelamatkan dunia(?)
Who knows?
Untuk beberapa alasan yang masuk akal, aku masih bisa mengerti. Tadi pagi, misalnya, ada dua mobil ambulance yang terus membunyikan sirine-nya dan melawan arah dan terus melaju disaat tanda kereta lewat masih berbunyi. Selama sekiranya aman, ya nggak apa-apa kali, ya (khusus ambulance, karena pasti itu urgent banget). Tapi ternyata banyak pengendara lain yang ikut-ikutan mobil ambulance itu. Mereka seolah nggak mendengar peringatan kalau kereta yang lewat  itu dari dua arah sekaligus.
Susah emang.
Sampai kereta sudah terlihat dekat, masih ada aja pengendara yang nekad lewat. X_X

Pernah nonton film Jepang yang judulnya I Give My First Love to You?
Ada satu scene yang menurut aku bisa dijadikan pelajaran buat siapa aja. Waktu Kou dengan gayanya menerobos palang kereta (yang pasti dia pikir keretanya masih jauh) dan dalam hitungan sepersekian detik, kereta itu lewat.

Fortunately,ini bukan Jepang. kecepatan kereta yang melaju di kota ini masih tergolong lambat sehingga pengendara lain bisa memprediksi. Tapi apa kalian pernah berpikir kalau tetap ‘keukeuh’ nerobos rel kereta, mesin kendaraan kalian bisa mati tepat ditengah rel disaat kereta sudah mendekat?
The end.

Come on, people!
Kalian nggak lagi shooting video clip Bruno Mars yang jump jump jump in front of the train fo ya, kan?
Kalau kalian merasa kereta lewat menyebabkan kalian terlambat , berangkatlah lebih awal. #selfnote
Kalau kalian merasa menunggu kereta lewat itu membosankan, coba lihat sekitar. Anggaplah menunggu itu butuh waktu dua menit. Nah, kita bisa gunakan dua menit itu untuk menemukan sesuatu yang membuat kalian bersyukur dan tersenyum.  Bukannya malah nyelip-nyelip, melawan arah, nerobos rel dengan alasan ‘keretanya masih jauh’.
Kereta tetaplah kereta #yaiyalah

Aku menulis ini karena aku peduli sama kalian yang aku nggak kenal kalian itu siapa, urusan kalian apa aja.  Tapi kita sama-sama pengendara, penggguna jalan. Nggak ada salahnya buat saling mengingatkan demi keselamatan dan kelancaran jalan juga. Karena jujur aja, apa yang kalian lakukan itu malah bikin tambah macet jalanan khususnya ketika palang kereta sudah dibuka. 

Dua Puluh Tahun

Tenang, kali ini kita tidak akan bertemu aku 20 tahun lalu. Haha. Dua puluh tahun adalah alasanku 'menolak' orang yang pertama kali ...