Monday, 2 December 2013

Hujan



Aku tidak membenci hujan, juga tidak menyukai hujan. Ya, biasa saja. Kata banyak orang, hujan bisa mengingatkan kita pada kenangan  masa lalu. Apalagi kalau sambil mendengarkan musik yang sesuai dengan suasana hati. Entah kenangan seperti apa yang mereka maksud.  Aku sendiri tidak bisa membayangkan kenangan apapun ketika hujan turun. Tidak ada yang istimewa, hingga suatu hari …
Sore itu, sudah sekitar tiga puluh menit aku berdiri di depan cermin. Aku belum pernah selama itu  berdiri hanya untuk melihat diriku sendiri. Aku menyisir rambutku  sampai rapi lalu mengikatnya jadi satu, mengurainya lagi, mengikatnya lagi, begitu saja sampai  akhirnya kuputuskan untuk membiarkan rambutku terurai dengan hiasan bando kesukaanku.
Hari ini seorang teman yang tak ingin aku sebut namanya mengajakku makan malam.  Memang bukan makan malam seperti yang ada di film-film. Tidak ada lilin juga tidak ada live music. Bisa dibilang semuanya biasa aja.  Tapi ini pertama kalinya aku makan malam –berdua- dengan seorang laki-laki.  Tempat makan ini berada di lantai dua, dari sini kita bisa langsung melihat pemandangan di luar sekaligus merasakan angin malam. Kami berbincang-bincang seputar kesibukan masing-masing.  Gelak tawa sesekali muncul ketika dia mengatakan hal-hal yang menurutku  itu lucu. Aku suka suasana seperti ini. Rasa lelahku setelah seharian beraktivitas hilang begitu saja.  
Saat aku menyantap puding coklat sebagai desert, gemericik air mulai terdengar.  Hujan. Hujan membuat udara kota kembang ini menjadi lebih dingin dari biasanya.  Aku  melihat beberapa orang terlihat gelisah sambil melihat ke luar. Dia tersenyum padaku setelah aku memandang hujan cukup lama.
 “Hayoo loh, nggak bisa pulang.” Katanya.
Aku tertawa dan kembali menghabiskan pudingku.  Hujannya deras, biasanya kalau hujan deras seperti ini akan cepat berhenti dibandingkan dengan hujan yang kecil, gerimis misalnya.  Sudah hampir dua puluh menit kami duduk sambil memandang air yang turun dari langit malam. Butiran-butiran airnya terlihat warna-warni saat terkena sinar lampu penerang jalan.  Tidak ada lagi yang kami bicarakan. Hanya menunggu hujan.  
Akhirnya kami memutuskan untuk keluar dan berharap hujan sudah reda. Tapi ternyata hujan masih deras. Mungkin tidak ada salahnya menunggu sebentar lagi, berharap hujan berhenti.  Aku berdiri sekitar  lima puluh sentimeter di sampingnya. Sesekali aku mengusap lenganku untuk membuat rasa hangat. Aku termasuk orang yang senang memakai jaket kalaupun tidak dipakai, aku pasti bawa di tas.  Entah kenapa hari ini aku tidak membawa jaket dan hari ini hujan.
Dingin. Malam ini dingin sekali. Dia masih berdiri di sampingku, sedang asik dengan handphone touchscreen miliknya.  Mungkin dia sedang update status atau mengirim pesan atau bermain gamem atau .. ah sudahlah.  Pikirku.  Entah kenapa aku senang sekali. Berdiri di sampingnya dengan ditemani hujan seperti ini … romantis. Aku masih terdiam, lebih tepatnya menunggu dia membuka pembicaraan.  Aku ingin mengobrol ditengah hujan seperti ini tapi aku tidak tahu harus bicara apa untuk memulainya. Lagi pula dia masih sibuk dengan gadget-nya.
Aku memilih memerhatikan rintik-rintik hujan yang mulai reda.  Hujan di malam hari ini indah juga. Aku belum pernah memperhatikan hujan saat malam hari seperti ini.  Kubiarkan pikiranku larut dalam setiap rintik hujan. Suara gemericik hujan malam ini membuatku tenang dan dingin. Rasanya aku ingin terus hujan saja agar aku bisa berada terus di sampingnya seperti ini.
Aku merasakan sesuatu membalut punggungku. Dia memakaikan jaketnya untukku? Aku menoleh kaget dan melihatnya tersenyum. Rasanya tubuhku seketika membeku, lidahku kelu.  Jaket hijau lumut berbahan jeans miliknya membuatku hangat. Apalagi ditambah dengan senyum yang ia berikan untukku.  Rasanya seperti berada dalam drama yang sering aku lihat di televisi dan aku menjadi pemeran utamanya.  Rasanya seperti mimpi!
“Hei.” Seseorang menepuk pundakku. Dia. Aku menoleh dan kulihat dia berdiri disampingku dan ia masih memakai jaketnya.  Tidak ada jaket yang menyelimuti punggungku.  Hujan sudah reda. Udara sejuk pun mulai terasa. “Pulang yuk!” katanya.
Aku mengangguk, masih setengah sadar.  Ah! Aku berkhayal. Ini pasti karena aku terlalu banyak menonton drama. Bodoh! Mana mungkin dia mau meminjamkan jaketnya untukku. Dia juga pasti merasa kedinginan, kan? Aku pikir itu memang hanya ada di dalam drama saja.
Udara  setelah ujan terasa semakin menusuk tulang ketika motornya melaju.  Meskipun terkesan biasa saja, tapi hujan kali ini membawa kebahagiaan tersendiri untukku.  Hujan bukan hanya sekadar air yang jatuh dari langit. Hujan telah menjadi saksi dari sekian banyak cerita yg orang-orang miliki, termasuk ceritaku.
Satu hal yang aku tahu, hujan membuat  segalanya menjadi romantis dengan caranya sendiri. 

1 comment:

  1. menurut aku tulisannya bagus, iya emang bagus, good job ^,^

    ReplyDelete

Dua Puluh Tahun

Tenang, kali ini kita tidak akan bertemu aku 20 tahun lalu. Haha. Dua puluh tahun adalah alasanku 'menolak' orang yang pertama kali ...