Aku tidak membenci hujan, juga tidak
menyukai hujan. Ya, biasa saja. Kata banyak orang, hujan bisa mengingatkan kita
pada kenangan masa lalu. Apalagi kalau
sambil mendengarkan musik yang sesuai dengan suasana hati. Entah kenangan
seperti apa yang mereka maksud. Aku sendiri
tidak bisa membayangkan kenangan apapun ketika hujan turun. Tidak ada yang
istimewa, hingga suatu hari …
Sore itu, sudah sekitar tiga puluh
menit aku berdiri di depan cermin. Aku belum pernah selama itu berdiri hanya untuk melihat diriku sendiri. Aku
menyisir rambutku sampai rapi lalu
mengikatnya jadi satu, mengurainya lagi, mengikatnya lagi, begitu saja
sampai akhirnya kuputuskan untuk
membiarkan rambutku terurai dengan hiasan bando kesukaanku.
Hari ini seorang teman yang tak
ingin aku sebut namanya mengajakku makan malam.
Memang bukan makan malam seperti yang ada di film-film. Tidak ada
lilin juga tidak ada live music. Bisa
dibilang semuanya biasa aja. Tapi ini pertama
kalinya aku makan malam –berdua- dengan seorang laki-laki. Tempat makan ini berada di lantai dua, dari
sini kita bisa langsung melihat pemandangan di luar sekaligus merasakan angin
malam. Kami berbincang-bincang seputar kesibukan masing-masing. Gelak tawa sesekali muncul ketika dia
mengatakan hal-hal yang menurutku itu lucu.
Aku suka suasana seperti ini. Rasa lelahku setelah seharian beraktivitas hilang
begitu saja.
Saat aku menyantap puding coklat
sebagai desert, gemericik air mulai terdengar.
Hujan. Hujan membuat udara kota kembang
ini menjadi lebih dingin dari biasanya.
Aku melihat beberapa orang
terlihat gelisah sambil melihat ke luar. Dia tersenyum padaku setelah aku
memandang hujan cukup lama.
“Hayoo loh, nggak bisa pulang.” Katanya.
Aku tertawa dan kembali menghabiskan
pudingku. Hujannya deras, biasanya kalau
hujan deras seperti ini akan cepat berhenti dibandingkan dengan hujan yang
kecil, gerimis misalnya. Sudah hampir dua
puluh menit kami duduk sambil memandang air yang turun dari langit malam. Butiran-butiran
airnya terlihat warna-warni saat terkena sinar lampu penerang jalan. Tidak ada lagi yang kami bicarakan. Hanya menunggu
hujan.
Akhirnya kami memutuskan untuk
keluar dan berharap hujan sudah reda. Tapi ternyata hujan masih deras. Mungkin
tidak ada salahnya menunggu sebentar lagi, berharap hujan berhenti. Aku berdiri sekitar lima puluh sentimeter di sampingnya. Sesekali
aku mengusap lenganku untuk membuat rasa hangat. Aku termasuk orang yang senang
memakai jaket kalaupun tidak dipakai, aku pasti bawa di tas. Entah kenapa hari ini aku tidak membawa jaket
dan hari ini hujan.
Dingin. Malam ini dingin sekali. Dia
masih berdiri di sampingku, sedang asik dengan handphone touchscreen miliknya. Mungkin dia sedang update status atau
mengirim pesan atau bermain gamem atau .. ah sudahlah. Pikirku. Entah kenapa aku senang sekali. Berdiri di
sampingnya dengan ditemani hujan seperti ini … romantis. Aku masih terdiam, lebih
tepatnya menunggu dia membuka pembicaraan. Aku ingin mengobrol ditengah hujan seperti ini
tapi aku tidak tahu harus bicara apa untuk memulainya. Lagi pula dia masih sibuk
dengan gadget-nya.
Aku memilih memerhatikan
rintik-rintik hujan yang mulai reda.
Hujan di malam hari ini indah juga. Aku belum pernah memperhatikan hujan
saat malam hari seperti ini. Kubiarkan
pikiranku larut dalam setiap rintik hujan. Suara gemericik hujan malam ini membuatku
tenang dan dingin. Rasanya aku ingin terus hujan saja agar aku bisa berada
terus di sampingnya seperti ini.
Aku merasakan sesuatu membalut
punggungku. Dia memakaikan jaketnya untukku? Aku menoleh kaget dan melihatnya
tersenyum. Rasanya tubuhku seketika membeku, lidahku kelu. Jaket hijau lumut berbahan jeans miliknya
membuatku hangat. Apalagi ditambah dengan senyum yang ia berikan untukku. Rasanya seperti berada dalam drama yang sering
aku lihat di televisi dan aku menjadi pemeran utamanya. Rasanya seperti mimpi!
“Hei.” Seseorang menepuk pundakku. Dia. Aku menoleh dan kulihat dia berdiri
disampingku dan ia masih memakai jaketnya. Tidak ada jaket yang menyelimuti punggungku. Hujan sudah reda. Udara sejuk pun mulai
terasa. “Pulang yuk!” katanya.
Aku mengangguk, masih setengah
sadar. Ah! Aku berkhayal. Ini pasti
karena aku terlalu banyak menonton drama. Bodoh! Mana mungkin dia mau
meminjamkan jaketnya untukku. Dia juga pasti merasa kedinginan, kan? Aku pikir
itu memang hanya ada di dalam drama saja.
Udara setelah ujan terasa semakin menusuk tulang
ketika motornya melaju. Meskipun
terkesan biasa saja, tapi hujan kali ini membawa kebahagiaan tersendiri
untukku. Hujan bukan hanya sekadar air
yang jatuh dari langit. Hujan telah menjadi saksi dari sekian banyak cerita yg
orang-orang miliki, termasuk ceritaku.
Satu hal yang aku tahu, hujan membuat segalanya menjadi romantis dengan caranya
sendiri.
menurut aku tulisannya bagus, iya emang bagus, good job ^,^
ReplyDelete