Tuesday, 24 December 2013

Rumah Mewah




Kalau jalan sama teman-teman, pasti adaa aja sesuatu yang bikin kita ketawa-ketawa. Tingkah laku teman-teman yang kadang suka tidak masuk akal kerap kali membuat kita tertawa dan melupakan masAlah masing-masing –meskipun- untuk sesaat.
Pernah nggak? Kamu lagi jalan kaki sama teman-teman, terus tiba-tiba melewati rumah yang mewah banget. Pokoknya, waktu melihat rumah itu dalam hati kita bakal bilang “Whoaa! Rumahnya bagus banget!” atau “Waah, apa ya rasanya tinggal di rumah sebagus itu?” atau “…..” –nggak komentar karena terlalu sibuk ketawa-ketiwi jadi nggak ‘ngeh’ kalau kamu lagi lewatin  rumah yang segede gunung.
Sampai akhirnya ada salah satu dari teman kita yang ….
Yap! Pura-pura jadi ‘tuan rumah’ dengan cara berjalan mendekati gerbang rumah –yang gatau punya siapa- terus berlagak kaya mau masuk rumah itu sambil bilang “Eh, mau mampir dulu nggak?” atau “Masuk dulu, yuk! Mau main dulu nggak?” atau apalah itu. Yah, namanya juga menganggap seperti rumah sendiri. Lagaknya tuh udah kaya tuan rumah beneran deh!
Sebagian besar teman-teman menanggapinya dengan ketawa-ketawa atau sorak “huuu” atau kalau teman itu sama gila-nya, dia bakal ikut-ikutan berlagak mau masuk rumah mewah –yang gatau punya siapa- sambil ngomong, “aku mau minum dulu, ah.” Lalu teman yang pertama ngaku-ngaku  menjawab, “ayo masuk dulu, yuk!” –zzz.
Mungkin kalau sekarang kita melihat anak-anak yang bertingkah kaya gitu kita bakal komentar dalam hati, “apa banget sihh.” Tapi dulu, waktu kita ada diposisi mereka, yang masih suka ketawa ketiwi ga jelas sambil jalan atau ngemil bareng temen-temen pasti rasanya seru. Ga peduli apa pandangan orang yang melihat tingkah kita.
Ya aku juga dulu pernah tuh  suatu hari ketika pulang berenang bareng teman-teman SMP, kebetulan tempat renangnya itu di sebuah perumahan gitu. Pulangnya kita jalan kaki bareng-bareng. Biasalah ngeliat rumah mewah sedikit pasti adaaa aja yang belaga “eh mampir dulu yuk!” sambil mau buka pagar –rumah orang-
Kita sih ya ketawa-ketawa aja. Ehhh, taunya ada suara dogii dari dalam rumah itu. Sontak dong kita langsung lari. Whoahaha.. Untung aja anjingnya nggak ngejar. fyuhh
Tapii kejadian itu nggak membuat kita kapok buat “ngaku-ngakuin rumah newah”.
Suatu hari, kita belaga lagi tuh ngajak-ngajak temen yang lain buat mampir ke rumah –orang- haha. Dan kali ini kita belaga lebih nekat dari biasanya. Yap! Ngajak mampir sampai buka pager rumahnya. (Ga usah ditiru-tiru ya!) dan ternyata .. si pemilik rumah keluar dong, terus bilang “mau ke siapa, de?” –siiiiiiing- kita semua kalau jadi film kartun udah membeku kali tuh waktu itu. Haha. Malu abiss. 

Monday, 16 December 2013

Winter to Summer


Kalau saya harus menyebutkan sebuah tempat yang paliing saya benci di dunia, tempat itu bernama bandara, temat di mana banyak perjalanan dimuai, yang juga merupakan tempat di mana ribuan perjalanan berakhir – Winter to Summer

Kalau aku harus menyebutkan tempat yang paling aku benci di dunia, tempat itu bernama terminal. Soalnya aku belum pernah pergi ke tempat yang mengharuskan aku ke Bandara alias naik pesawat. Hahaha. *gubrak* Kapan ya? XD
Tapi iya, sih. Bandara, terminal, stasiun, pelabuhan, tempat-tempat seperti itu memang tempat di mana banyak orang meneteskan air mata. Entah itu air mata bahagia atau air mata sedih.  That’s life.  


Monday, 2 December 2013

Hujan



Aku tidak membenci hujan, juga tidak menyukai hujan. Ya, biasa saja. Kata banyak orang, hujan bisa mengingatkan kita pada kenangan  masa lalu. Apalagi kalau sambil mendengarkan musik yang sesuai dengan suasana hati. Entah kenangan seperti apa yang mereka maksud.  Aku sendiri tidak bisa membayangkan kenangan apapun ketika hujan turun. Tidak ada yang istimewa, hingga suatu hari …
Sore itu, sudah sekitar tiga puluh menit aku berdiri di depan cermin. Aku belum pernah selama itu  berdiri hanya untuk melihat diriku sendiri. Aku menyisir rambutku  sampai rapi lalu mengikatnya jadi satu, mengurainya lagi, mengikatnya lagi, begitu saja sampai  akhirnya kuputuskan untuk membiarkan rambutku terurai dengan hiasan bando kesukaanku.
Hari ini seorang teman yang tak ingin aku sebut namanya mengajakku makan malam.  Memang bukan makan malam seperti yang ada di film-film. Tidak ada lilin juga tidak ada live music. Bisa dibilang semuanya biasa aja.  Tapi ini pertama kalinya aku makan malam –berdua- dengan seorang laki-laki.  Tempat makan ini berada di lantai dua, dari sini kita bisa langsung melihat pemandangan di luar sekaligus merasakan angin malam. Kami berbincang-bincang seputar kesibukan masing-masing.  Gelak tawa sesekali muncul ketika dia mengatakan hal-hal yang menurutku  itu lucu. Aku suka suasana seperti ini. Rasa lelahku setelah seharian beraktivitas hilang begitu saja.  
Saat aku menyantap puding coklat sebagai desert, gemericik air mulai terdengar.  Hujan. Hujan membuat udara kota kembang ini menjadi lebih dingin dari biasanya.  Aku  melihat beberapa orang terlihat gelisah sambil melihat ke luar. Dia tersenyum padaku setelah aku memandang hujan cukup lama.
 “Hayoo loh, nggak bisa pulang.” Katanya.
Aku tertawa dan kembali menghabiskan pudingku.  Hujannya deras, biasanya kalau hujan deras seperti ini akan cepat berhenti dibandingkan dengan hujan yang kecil, gerimis misalnya.  Sudah hampir dua puluh menit kami duduk sambil memandang air yang turun dari langit malam. Butiran-butiran airnya terlihat warna-warni saat terkena sinar lampu penerang jalan.  Tidak ada lagi yang kami bicarakan. Hanya menunggu hujan.  
Akhirnya kami memutuskan untuk keluar dan berharap hujan sudah reda. Tapi ternyata hujan masih deras. Mungkin tidak ada salahnya menunggu sebentar lagi, berharap hujan berhenti.  Aku berdiri sekitar  lima puluh sentimeter di sampingnya. Sesekali aku mengusap lenganku untuk membuat rasa hangat. Aku termasuk orang yang senang memakai jaket kalaupun tidak dipakai, aku pasti bawa di tas.  Entah kenapa hari ini aku tidak membawa jaket dan hari ini hujan.
Dingin. Malam ini dingin sekali. Dia masih berdiri di sampingku, sedang asik dengan handphone touchscreen miliknya.  Mungkin dia sedang update status atau mengirim pesan atau bermain gamem atau .. ah sudahlah.  Pikirku.  Entah kenapa aku senang sekali. Berdiri di sampingnya dengan ditemani hujan seperti ini … romantis. Aku masih terdiam, lebih tepatnya menunggu dia membuka pembicaraan.  Aku ingin mengobrol ditengah hujan seperti ini tapi aku tidak tahu harus bicara apa untuk memulainya. Lagi pula dia masih sibuk dengan gadget-nya.
Aku memilih memerhatikan rintik-rintik hujan yang mulai reda.  Hujan di malam hari ini indah juga. Aku belum pernah memperhatikan hujan saat malam hari seperti ini.  Kubiarkan pikiranku larut dalam setiap rintik hujan. Suara gemericik hujan malam ini membuatku tenang dan dingin. Rasanya aku ingin terus hujan saja agar aku bisa berada terus di sampingnya seperti ini.
Aku merasakan sesuatu membalut punggungku. Dia memakaikan jaketnya untukku? Aku menoleh kaget dan melihatnya tersenyum. Rasanya tubuhku seketika membeku, lidahku kelu.  Jaket hijau lumut berbahan jeans miliknya membuatku hangat. Apalagi ditambah dengan senyum yang ia berikan untukku.  Rasanya seperti berada dalam drama yang sering aku lihat di televisi dan aku menjadi pemeran utamanya.  Rasanya seperti mimpi!
“Hei.” Seseorang menepuk pundakku. Dia. Aku menoleh dan kulihat dia berdiri disampingku dan ia masih memakai jaketnya.  Tidak ada jaket yang menyelimuti punggungku.  Hujan sudah reda. Udara sejuk pun mulai terasa. “Pulang yuk!” katanya.
Aku mengangguk, masih setengah sadar.  Ah! Aku berkhayal. Ini pasti karena aku terlalu banyak menonton drama. Bodoh! Mana mungkin dia mau meminjamkan jaketnya untukku. Dia juga pasti merasa kedinginan, kan? Aku pikir itu memang hanya ada di dalam drama saja.
Udara  setelah ujan terasa semakin menusuk tulang ketika motornya melaju.  Meskipun terkesan biasa saja, tapi hujan kali ini membawa kebahagiaan tersendiri untukku.  Hujan bukan hanya sekadar air yang jatuh dari langit. Hujan telah menjadi saksi dari sekian banyak cerita yg orang-orang miliki, termasuk ceritaku.
Satu hal yang aku tahu, hujan membuat  segalanya menjadi romantis dengan caranya sendiri. 

Dua Puluh Tahun

Tenang, kali ini kita tidak akan bertemu aku 20 tahun lalu. Haha. Dua puluh tahun adalah alasanku 'menolak' orang yang pertama kali ...