Tuesday, 19 January 2016

Display Picture



Vanila duduk di kursi kerjanya, menatap layar komputer dengan tatapan kosong, melamun. “Sejak kapan cinta tidaknya seseorang dinilai dari ‘display picture’ kontaknya?” Gumam Vanila dalam hati.
Kata-kata Rizal, rekan kerjanya, saat jam makan siang tadi masih terngiang di telinga Vanila.
***
Siang itu, semua staff di kantor bergegas menuju kantin. Vanilla duduk satu meja dengan Rizal dan Danu.
“Van, sekarang lo kok jarang pasang foto sama cowo lo? Lagi berantem?” Tanya Rizal.
“Hm? Nggak apa-apa. Kita baik-baik aja kok.”
“Oooh, kirain. Btw, cowo lo suka pasang foto kalian juga nggak di display picture-nya?” Pertanyaan ‘kepo’ Rizal membuat Vanila berhenti makan sejenak. Matanya melihat ke langit-langit, mencoba mengingat-ingat.
“Nggak, jarang. Pernah nggak, ya? Lupa gue.” Jawab Vanila sekenanya.
“Serius, Van!?” Danu tidak percaya.
“Berarti kalau kaya gitu, cinta lo yang lebih besar daripada dia. Lo yang suka banget sama dia. Dianya biasa-biasa aja.” Rizal membuat kesimpulan sendiri.
“.........”
“Emang lo nggak pernah marah atau nanya ke dia kenapa dia kaya gitu?” Tanya Rizal lagi. Dia memang lebih berbakat menjadi reporter dibanding menjadi pegawai kantoran seperti sekarang.
Why should I?”
“Hati-hati loh, Van.” Kata Danu lagi.
“Hati-hati kenapa?”
“Lo tahu kenapa dia jarang pasang foto berdua sama lo?”
“Yaa, mungkin dia memang bukan tipe orang yang suka pasang foto?” Vanila tidak yakin dengan jawabannya. “Lagian gue nggak menganggap hal itu sebagai masalah juga, sih. So yeah.” Vanila mengangkat bahu.
“Biasanya nih, ya. Berdasarkan pengalaman gue, orang kalau nggak mau pasang foto berdua sama pacarnya, berarti dia ada apa-apa.”
“Apaan sih, Zal.”
“Eh, gue serius, Van. Kalau dia kaya gitu, berarti ada hati yang dia jaga di kontaknya.” Nada bicara Rizal persis seperti orang yang sedang membacakan cerita horror. “Pasti! Gue yakin ada hati yang dia jaga di kontaknya. Entah itu mantan, gebetan, atau …… selingkuhan. Who knows, Van.”
“Who knows?” Danu ikut-ikutan.
Vanila mengangkat sebelah alisnya, memilih menghabiskan jus strawberry-nya daripada menanggapi kedua rekan kerjanya itu.
***
“Sejak kapan display picture dijadikan patokan untuk menilai cinta seseorang?” gumam Vanila lagi. Masih melamun, dia mengambil smartphone-nya, membuka recent update kontak chat.
Danu- changed display picture.
Terlihat foto Danu dan pacarnya di sebuah taman bertema  Eropa.
Memang jika dibandingkan dengan Danu dan Rizal, pacar Vanila hampir tidak pernah seperti itu.  Tetapi Vanila tidak pernah membanding-bandingkannya. Untuk apa?
Vanila juga tidak pernah mempermasalahkan hal itu karena bagi Vanila, itu bukan hal yang harus dipermasalahkan. Entah kalau menurut orang lain. Vanila percaya  kekasihnya.  Dia tidak akan ‘merusak’ hubungannya hanya karena display picture apalagi karena mendengar pendapat orang lain yang terkesan mengatur bagaimana seharusnya hubungan dia dengan pasangannya berjalan.


Dari cerita di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap orang punya cara yang berbeda dalam menunjukkan rasa sayangnya.  
Tidak ada salah atau benar. Lagi pula, memasang foto berdua bukanlah sebuah kewajiban seseorang ketika mereka memiliki pasangan. Meskipun kebanyakan orang menganggap ‘jarang memasang foto bersama pasangannya’ adalah sesuatu yang patut dicurigai seperti kata Rizal. Mungkin apa yang dikatakan Rizal ada benarnya, meskipun tidak selalu seperti itu. Yaa, aku tahu kemungkinan ‘tidak selalu seperti itu’ sangat kecil karena kebanyakan memang seperti itu.
((seperti itu))
((seperti itu))
Bagi sebagian orang, ‘display picture’ ini masih menjadi permasalahan hubungan mereka. Dan itu wajar.   Akan ada masanya ketika kalian tidak lagi mempermasalahkan hal yang seharusnya tidak menjadi masalah. Tentu saja jika kalian saling jujur dan percaya satu sama lain.

Tuesday, 12 January 2016

tik--------tik--------tik

Ini memang bukan pertama kalinya waktu terasa berjalan sangat lambat. Bahkan pergerakan jarum detik di jam tanganku terdengar begitu ‘tik--------tik--------tik’. Ya, lambat.
Semua terasa lambat karena aku sedang menunggu.   
Aku tidak bisa pura-pura sedang tidak menunggu apapun disaat aku sangat merindukannya.

Masih ada –kurang lebih–  345.600 detik yang harus aku lewatkan sampai aku bisa bertemu dengannya. Aku harus menunggu se-lama itu untuk bertemu dengan orang yang aku rindukan dan tentu saja dia juga merindukanku.
Bukan aku ke-GR-an, hanya saja aku tidak akan se-‘gila’ ini kalau hanya aku yang merindukannya. Aku tidak akan menunggu bahkan sampai menghitung setiap detik yang berjalan kalau hanya aku yang ingin bertemu dengannya.
Memang benar, menunggu adalah hal yang tidak menyenangkan, bagi hampir semua orang.   
Setidak suka apapun kita, ketika menginginkan sesuatu, ada kalanya kita memang harus menunggu.
Aku tidak bisa membuat waktu berjalan lebih cepat sehingga aku tidak punya pilihan lain selain menunggu, sekalipun pilihan lain itu selalu ada.
Kau tahu, pilihan lain selain menunggu? Pergi.
Tapi, 
aku tidak akan pergi karena aku ingin tinggal, bersamanya.

Dua Puluh Tahun

Tenang, kali ini kita tidak akan bertemu aku 20 tahun lalu. Haha. Dua puluh tahun adalah alasanku 'menolak' orang yang pertama kali ...